Anies Baswedan kembali Berlakukan PSBB Total DKI Jakarta, Berapa Lama Hal Ini Idelnya Berlangsung?

Anies Baswedan kembali menerapkan PSBB di DKI Jakarta karena berbagai alasan. Yang utama karena jumlah pasien positif Covid-19

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
(Dokumentasi Pemprov DKI Jakarta)
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama wakilnya, Achmad Riza Patria, dalam konferensi pers penerapan kembali masa PSBB pada Rabu (9/9/2020). 

TRIBUNJAMBI.COM - Seperti yang diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali menerapkan PSBB.

Keputusan tersebut menimbulkan pro dan kontra.

Sejumlah masyarakat setuju dengan kebijakan tersebut namun ada pula yang kurang setuju.

Anies Baswedan kembali menerapkan PSBB di DKI Jakarta karena berbagai alasan.

Yang utama karena jumlah pasien positif Covid-19 di Jakarta terus bertambah.

Full Download Lagu Mp3 Minang Terbaru 2020, Lengkap dari Ovhi Firsty hingga Ipank Feat Kintani

Sambil Malu-malu, Jenita Janet Perkenalkan Kekasih Barunya: Doain Ajalah Mudah-mudahan Nggak Lama

Sehingga jumlah kamar isolasi untuk para pasien semakin terbatas.

Tenaga kesehatan juga terus berguguran.

Masyarakat yang semakin acuh tidak melakukan protokol Covid-19 membuat penularan semakin masif.

PSBB DKI Jakarta akan dimulai pada 14 September 2020 mendatang.

PSBB total ini menggantikan masa PSBB transisi yang diterapkan sejak 5 Juni 2020.

Lantas, sampai kapan idealnya PSBB diterapkan?

Menjawab pertanyaan ini Kompas.com menghubungi pakar epidemiologi Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman.

Dicky menyampaikan, PSBB merupakan strategi tambahan dalam upaya pengendalian suatu pandemi, dalam hal ini Covid-19.

Seperti kita tahu, dengan diberlakukannya PSBB maka sosial ekonomi pun akan merasakan dampaknya.

Oleh sebab itu, penerapan PSBB total harus memenuhi dua syarat, yakni:

Angka kematian di suatu wilayah tinggi

Angka kesakitan yang menyebabkan tempat perawatan di rumah sakit penuh.

Dicky menjelaskan, saat kapasitas tempat tidur di rumah sakit mencapai 90 persen, ini sudah berada di titik sangat serius.

"Karena normalnya batasan WHO itu 60 persen," kata Dicky.

Dia mengatakan, ketika kapasitas rumah sakit mencapai 90 persen dampaknya adalah munculnya risiko kekacauan di layanan rumah sakit.

"Kalau rumah sakit sampai caos atau membludak dan rumah sakit enggak bisa menangani (pasien), itu risiko kematian akan sangat tinggi. Ini yang terjadi juga di Italia," paparnya.

Sebagai contoh, ruang ICU hanya ada satu tapi pasien yang membutuhkan ICU ada 9. Hal ini besar kemungkinan akan menyebabkan kematian pada pasien yang menunggu perawatan ICU tersebut.

Hal-hal seperti inilah yang harus dicegah, salah satunya dengan cara menarik rem dan menerapkan PSBB total.

Ketika PSBB total dijalankan dan masyarakat berada di rumah, maka tidak ada pergerakan manusia yang bisa meningkatkan risiko penularan Covid-19.

Seperti kita tahu, virus corona SARS-CoV-2 menular utamanya melalui droplets atau tetesan pernapasan yang dibawa orang.

Dicky pun menyampaikan, dengan diberlakukannya PSBB maka kita sebenarnya sedang memberi waktu kepada rumah sakit untuk memberikan pelayanan bagi pasien-pasien yang saat ini jumlahnya meningkat pesat.

Kondisi Terbaru Makam Didi Kempot , Proses Pembangunan, Ada 200 Peziarah yang Datang Setiap Hari

Durasi ideal PSBB

Dari penjelasan Dicky tersebut, durasi sampai kapan PSBB total akan diterapkan tergantung pada tren yang terjadi di masyarakat.

"Pelaksanaan PSBB berapa lama itu kalau berdasar rerata secara global, ada dua yang harus dicapai," ujar Dicky.

Pertama, apakah sudah memberikan waktu yang cukup bagi rumah sakit dalam mencapai kapasitas tempat tidur 60 persen.

Kedua, reproduction number atau angka reproduksi efektif (Rt) yang seharusnya 1 atau di bawah 1.
Rt Covid-19 merupakan tingkat potensi penularan virus. Jika angka Rt 1, berarti satu orang pasien bisa menularkan virus corona SARS-CoV-2 kepada satu orang lainnya.

Rt Covid-19 dapat meningkat karena rendahnya tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan dan pencegahan Covid-19.

Ilustrasi tes Covid-19 untuk mendeteksi infeksi virus corona.(Shutterstock)

Dan juga yang sangat penting dan sampai sekarang belum diperhatikan adalah positivity rate yang harus 5 persen," ujarnya.

Positivity rate adalah persentase dari pasien yang memiliki hasil tes positif Covid-19. Cara menghitungnya dengan membagi jumlah total kasus positif dengan tes yang dilakukan.

Dalam kesempatan wawancara sebelumnya bersama Kompas.com, Dicky menjelaskan, tingginya angka positivity rate di Indonesia disebabkan oleh kapasitas tes yang belum optimal.

Di sisi lain, kasus infeksi di masyarakat tergolong tinggi dan tidak terdeteksi.

"Peningkatan cakupan pemeriksaan PCR tidak membuat kasus infeksi Covid-19 bertambah. Dia mendeteksi kasus infeksi yang memang masih banyak terjadi," jelas dia.

Untuk menurunkan angka itu sesuai dengan target yang ditetapkan oleh WHO, yaitu di bawah 5 persen, diperlukan berbagai upaya.

Upaya-upaya tersebut di antaranya adalah testing dan tracing dengan kapasitas dan kualitas yang optimal.

Sementara tracing harus mencapai target minimal 80 persen dari kemungkinan orang yang tertular.

Optimalisasi testing, kata Dicky, harus dilakukan di semua daerah tanpa kecuali dengan target 1 tes per 1000 orang per minggu.

Menurutnya, pengabaian terhadap strategi testing tersebut sama halnya dengan bom waktu yang siap meledak.

(Tribunnewsmaker.com/*)

Amien Rais Bakal Bentuk partai Baru, Eks Pimpinan KPK & Panglima TNI Bakal Bergabung, PAN Reformasi?

Sumber: TribunNewsmaker
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved