YLBHI Catat 16 Kasus Perampasan Lahan Saat Pandemi Virus Corona, Dua Kasus Terjadi di Jambi
Kasus dugaan perampasan lahan masyarakat masih terjadi, sekalipun saat ini sedang pandemi Covid-19.
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Kasus dugaan perampasan lahan masyarakat masih terjadi, sekalipun saat ini sedang pandemi Covid-19.
Bahkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 16 kasus yang terjadi, termasuk di Provinsi Jambi.
Hal itu diungkapkan Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI saat konferensi pers secara daring, Rabu (20/5/2020).
YLBHI mencatat perampasan lahan masyarakat oleh oknum perusahaan ini juga turut melibatkan aparat keamanan.
"Sejak 2 Maret-2 Mei 2020, YLBHI mencatat 16 kasus perampasan lahan masyarakat. Seluruhnya tersebar di delapan provinsi," ujar Era.
Delapan provinsi yang dimaksud YLBHI adalah Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan Papua.
Data yang diperoleh Tribun dari YLBHI, kasus di Jambi terjadi pada 10 dan 25 April 2020. Era menyebut Kasus yang didampingi kantor-kantor LBH-YLBHI hanya sebagian kecil dari perampasan lahan yang terjadi di masa pandemi.
Di Jambi pada 10 April 2020, KPA Jambi mendampingi Kelompok Tani di Tebo yang tanamannya diduga diracun oleh PT WKS. PT WKS meracuni tanaman warga Lubuk Madrasah Tebo menggunakan drone.
Klaim PT WKS, lokasi tersebut masuk dalam areal konsesinya. Akibat tindakan PT WKS tanaman petani menjadi mati, termasuk tanaman pangan.
Hingga kini, ucapnya, tidak ada kejelasan tentang pemulihan hak petani.
• WKS Diduga Pakai Metode PPS yang Diduga Membahayakan Masyarakat, Taufiq : Tudingan itu tidak Benar
• Pasien Positif Corona di Tanjung Jabung Barat Hari Ini Bertambah 3 Dari Klaster Temboro
• Bupati Kerinci Keluarkan Surat Edaran Pelaksanaan Salat Ied di Masjid, Begini Ketentuannya
• KRONOLOGI Warga Air Batu Merangin Ngamuk lalu Bakar Posko Covid-19
Lalu pada 25 April 2020, terangnya, PT Asiatic Persada memutus akses jalan perkebunan Suku Anak Dalam kelompok Ahmad Nuri. Kelompok ini didampingi LSM Peduli Bangsa, Perkumpulan Reforma Agraria, dan Lembaga Aliansi Indonesia.
PT Berkat Sawit Utama (BSU) dulunya bernama PT Asiatic Persada mengklaim tanah-tanah SAD di antaranya kelompok Amad Nuri yang beranggotakan sekitar 30 KK.
Wilayah konflik kelompok ini berada di Desa Pompa Air, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, tepatnya di bagian utara konsesi perusahaan tersebut.
Perusahaan memutus akses SAD kelompok ini pada sumber-sumber daya alam yaitu akses ke sungai dan akses menuju lahan mereka yang dulu digusur oleh PT Asiatic Persada.
Tujuannya adalah agar Suku Anak Dalam tidak menduduki lokasi yang menurut perusahaan masuk ke dalam areal HGU.
Izin perkebunan PT Asiatic Persada akan berakhir pada bulan September 2021.
Ia mengatakan kasus perampasan tanah masyarakat di Indonesia masih terus berlangsung.
"Saat ini kasusnya masih bertambah dan tetap kami catat. Khusus yang kami paparkan hari ini terhitung sejak 2 Maret lalu," katanya.
Lebih lanjut Era mengungkapkan, tidak ada pola baru dalam perampasan lahan yang terjadi di masa pandemi ini. Sektor-sektor yang terdampak pun masih seputar perkebunan, kehutanan, infrastruktur, pertambangan dan pariwisata.
Akibat perampasan tersebut, saat ini sedikitnya ada 70 keluarga yang telah kehilangan lahan dan lebih dari 900 keluarga akan kehilangan tanahnya dalam situasi pandemi saat ini.
"Ada 40 keluarga yang merupakan masyarakat adat Suku Anak Dalam di Jambi dan masyarakat adat di Minahasa terdampak. Selain itu ada korban meninggal dunia, misalnya yang terjadi du Sumatera Selatan," paparnya.
Merujuk pada penjelasan di atas, Era mengungkapkan ada sejumlah hak masyarakat yang dilanggar, antara lain hak atas lahan, hak atas kesehatan, hak hidup, hak atas pangan, hak atas pemulihan dan hak tempat tinggal.
Era menggarisbawahi masa pandemi Covid-19 yang seolah jadi momentum oknum perusahaan mempercepat proses perampasan lahan masyarakat.
"Sebab kalau kita lihat kasus perampasan lahan ini, tak ada yang baru. Jadi sebenarnya ini adalah konflik-konflik lama yang ada dan masa pandemi dilihat sebagai peluang," ujarnya.
"Mengapa? Karena di saat ini gerak masyarakat terbatas, pemerintah sedang menerapkan pembatasan sosial dan pihak eksternal seperti media dan NGO saat ini memiliki keterbatasan untuk memberi support kepada masyarakat," tambah Era. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jambi/foto/bank/originals/20190814-ylbhi-era-purnama-sari.jpg)