Kehilangan Orangtua Saat Kecil, Anak Satu-satunya R A Kartini Galau Saat jadi Polisi Rahasia Belanda
Soesalit Djojoadhiningrat, nama anak satu-satunya dari RA Kartini, yang sudah ditinggal ibunya sejak masih kecil.
TRIBUNJAMBI.COM - 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini. Ya, Raden Ajeng (RA) Kartini merupakan pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita.
Dibalik perjuangan RA Kartini memperjuangkan emansipasi wanita atau-hak-hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, ternyata banyak yang belum tahu jika RA Kartini memiliki seorang anak laki-laki.
Soesalit Djojoadhiningrat, nama anak satu-satunya dari RA Kartini, yang sudah ditinggal ibunya sejak masih kecil.
Hanya berselang 4 hari setelah kelahirannya, ibunya, R.A. Kartini, meninggal dunia.
• Riwayat RA Kartini, Meski Sudah Menikah dengan Bangsawan, Tapi Tetap Perjuangkan Emansipasi Wanita
• Pendemo di Israel Tetap Patuhi Social Distancing saat Tuntut PM Lengser, Bermasker & Jaga Jarak
Saat itu, ayah Soesalit Djojoadhiningrat adalah seorang Bupati Rembang bernama Raden Mas Adipati Ario Djojodiningrat.
Tak lama setelah kematian ibunya, Soesalit lagi-lagi merasakan kehilangan pada usia muda.
Pada usianya 8 tahun, ayahnya, Ario Djojodiningrat meninggal dunia.
Dalam usianya yang masih muda, Soesalit sudah merasakan kehilangan sosok ayah dan ibu.
Beruntungnya saudara tiri tertuanya, Abdulkarnen Djojodhinigrat mau mengurus Soesalit.

Abdulkarnen bahkan mengurusi Soesalit dari urusan sekolah hingga pekerjaan.
Abdulkarnen juga ini nantinya memangku jabatan Bupati Rembang menggantikan ayah Soesalit.
Diketahui Soesalit bersekolah di Sekolah yang sama dengan R.A. Kartini dulu, yaitu Europe Lager School (ELS).
Sekolah ini merupakan sekolah elit untuk anak Eropa dan pembesar Pribumi.
Setelah lulus dari ELS, Soesalit melanjutkan pendidikannya di Hogare Burger School (HBS) Semarang dan berlanjut ke Recht Hoge School (RHS) Jakarta.
• 21 April - Perjuangan RA Kartini Lewat Surat
• Diperpanjang Hingga 13 Mei 2020, Menpan RB Perpanjang Kebijakan WFH untuk ASN
Beberapa tahun kemudian Soesalit ditawari pekerjaan oleh kakak tirinya.
Namun diluar dugaan ternyata sang kakak Abdulkarnen memasukkan adik tirinya ini ke Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang merupakan polisi rahasia Belanda.
Rasa bimbang selalu dirasakan Soesalit saat menjadi polisi rahasia ini.
Karena ia sebagai pejuang bangsa dan harus memata-matai bangsanya sendiri.
Setelah Jepang masuk ke Indonesia, akhirnya Soesalit dapat keluar dari PID dan bergabung dengan Tentara sukarela Pemela Tanah Air (PETA).
Melansir dari kompas.com, sejarawan Hendri F. Isnaini menjelaskan, selama perang kemerdekaan putra Kartini ini menjadi panglima di Divisi III Diponegoro.
Soesalit juga pernah bergeriliya di Gunung Sumbing saat Agresi Militer belanda II.
Namun karier militer Soesalit tidak begitu baik.
Pada saat berpangkat jendral Mayor atau sekarang dikenal Mayor jendral, Soesalit pernah diturunkan pangkatnya.
Dari jendral Mayor menjadi Kolonel kemudian diturunkan lagi menjadi Kementrian Perhubungan.
Namun pada peristiwa Madiun 1948 menjadi awal penderitaan Soesalit.
Pada saat pemberontakan komunis, pemerintah mendapat dokumen berisi nama Soesalit sebagai "Orang yang Diharapkan".
Singkat cerita, Soesalit pun menjadi tahanan rumah dan pangkatnya diturunkan.
Ia menjadi pejabat di Kementrian Perhubungan dengan pangkat militer tak berbintang.
Soesalit wafat di RSAP 17 Maret 1979.
Satu pesan yang diwariskan Soesalit adalah agar keturunannya tak membangga-banggakan dirinya sebagai keturunan R.A. Kartini dan selalu rendah hati. (Aditya Eriza Fahmi)
sumber intisari.grid.id