Obat Favipiravir Asal Jepang Diuji Kepada Pasien Virus Corona, Hasilnya Menggembirakan
Obat asal Jepang, favipiravir, efektif mengobati pasien yang terjangkit virus corona.
TRIBUNJAMBI.COM - Obat asal Jepang, favipiravir, efektif mengobati pasien yang terjangkit virus corona.
Hal ini mengacu pada uji klinis gunakan obat favipiravir yang diberikan kepada pasien terjangkit virus corona di Wuhan dan Shenzhen, China.
Diungkapkan Zhang Xinmin, pejabat kementerian teknologi dan sains China, uji klinis dilakukan kepada 340 orang pasien.
Obat favipiravir ini dikembangkan oleh Fujifilm.
Ia menyebut hasilnya saat uji klinis menunjukkan hasil positif.
"Tingkat keamanannya terbukti tinggi, dan jelas efektif untuk digunakan," ucap Zhang, Selasa (17/3/2020).
Dilansir The Guardian pada Rabu (18/3/2020), pasien yang mendapat obat flu di Shenzhen menunjukkan hasil negatif rata-rata empat hari sejak dinyatakan positif.
Dilaporkan NHK, hasil itu dibandingkan dengan pasien yang tidak mendaapt favipiravir, mereka baru negatif 11 hari setelah didiagnosa tertular.
Hasil Sinar X juga memperlihatkan adanya peningkatan pada kondisi paru-paru sekitar 91 persen.
Berbanding 62 persen tanpa favipiravir.
Fujifilm Toyama Chemical, pabrikan pembuat obat flu dengan nama lain Avigan tidak berkomentar soal klaim bahwa obat mereka efektif mengatasi virus corona.
Dampak dari komentar Zhang, saham perusahaan dilaporkan menguat 14,7 persen, dan ditutup setelah berada di angka 5.207 yen.
Saham Fujifilm dikabarkan sempat berada di titik tertinggi, yakni 5.238 yenk sejak ucapan pejabat China itu menjadi viral.
Dokter di Jepang dikabarkan menggunakan obat yang sama dalam uji klinis terhadap pasien Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang.
Melalui konsumsi favipiravir, tim medis berharap virus yang pertama kali terdeteksi di Wuhan itu tidak sampai berkembang di tubuh pasien.
Sumber dari kementerian kesehatan Negeri "Sakura" mengungkapkan, Avigan itu tidak efektif jika gejala yang dialami pasien sudah parah.
"Kami memberikan Avigan 70-80 pasien. Namun, tidak terlalu bekerja dengan baik ketika virusnya sudah berkembang dalam tubuh," terang dia kepada Mainichi Shimbun.
Pejabat anonim itu mengatakan, mereka juga sempat melakukan studi menggunakan kombinasi obat HIV antiretrovirals lopinavir dan ritonavir.
Pada 2016, Tokyo sempat menyediakan favipiravir sebagai pengobatan darurat untuk menangkal virus Ebola yang berkembang di Guinea.
Penggunaan favipiravir, yang awalnya hanya diperuntukkan mengobati flu, membutuhkan persetujuan khusus dalam skaal besar.
Sumber menerangkan, mereka bisa mendapat persetujuan lebih cepat pada Mei.
"Namun jika hasilnya tertunda, izinnya juga tertunda," kata dia