Liputan Eksklusif

Manajer Kafe Kaget Wajib Bayar Royalti Putar Lagu, "Pihak Mal Tidak Pernah Menegur"

Saat itu dia diperingatkan untuk tidak memutar lagu-lagu Indonesia saat jam operasional kafe.

Editor: Nani Rachmaini
pixabay.com
Ilustrasi. Manajer Kafe Kaget Wajib Bayar Royalti, Menguak Lika-liku Pembajakan Hak Cipta Lagu 

LIPUTAN EKSKLUSIF TRIBUN
Manajer Kafe Kaget Wajib Bayar Royalti, Menguak Lika-liku Pembajakan Hak Cipta Lagu

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Suasana di sebuah kafe jaringan internasional di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Tangerang Selatan, Banten, Minggu (17/2) sore ramai oleh tamu.

Lagu Laskar Pelangi yang dipopulerkan oleh grup Nidji terdengar jelas dari speaker.

Menyusul adalah suara Ari Lasso yang membawakan lagu Mengejar Matahari.

Lagu tersebut diputar menggunakan aplikasi pemutar lagu yang terhubung internet.

YN (inisial, red) adalah manajer yang bertugas di kafe tersebut.

Dia terkejut saat Tribun Network menanyakan perihal Pasal 9 Undang-Undang Hak Cipta.

Ventje Rumangkang Satu Pendiri Partai Demokrat Meninggal Dunia, AHY Penyampai Kabar Duka

Jadi Sorotan, Sosok Ayah Ashraf Sinclair, Mohamed Anthony Pengusaha Rumahan Jual Selai di Mal

Sebab mengacu pasal itu, kafenya harus membayar royalti karena memutar lagu tersebut.

Sebagai tempat kegiatan usaha jasa kuliner bermusik, maka kafe tempat YN bekerja menjadi subjek royalti.

"Saya tidak tahu soal aturan itu, baik lagu Indonesia maupun lagu luar negeri. Pihak mal juga tidak pernah menegur," ungkap YN kepada Tribun Network.

Dia mengaku saat bekerja di cabang kafenya di mal lain, dia pernah ditegur oleh pihak pengelola mal.

Saat itu dia diperingatkan untuk tidak memutar lagu-lagu Indonesia saat jam operasional kafe.

Namun demikian, pihak mal tersebut memberikan lampu hijau kepada kafe tempat YN bekerja jika memutar lagu-lagu luar negeri.

Hal senada diutarakan oleh AG, seorang pengusaha kafe di kawasan perumahan di Jakarta Timur.

Kafenya terhitung kecil, sekadar memanfaatkan teras di rumahnya.

Kafenya tergolong ramai. AG selalu memutar lagu untuk memperkuat atmosfer di kafe yang berdiri sejak 2011 tersebut.

"Saya tidak tahu pasti, hanya pernah dengar aturan soal memutar lagu di tempat komersial. Setahu saya ini hanya untuk performer lokal," kata AG kepada Tribun Network, Senin (17/2).

Dia mengaku tidak tahu soal status kafenya sebagai subjek pembayar royalti.

Belakangan dia memutar lagu menggunakan aplikasi dan berlangganan.

Sama seperti YN, AG tidak tahu langganan tersebut sebatas konsumsi pribadi, bukan untuk diputar di kafe.

Suraji Susuri Sungai Saat Subuh Sampai Kram, Terbayang Percakapan Terakhir dengan Yasinta

Wawancara Khusus Pemancing Selamatkan 20 Pramuka SMPN 1 Turi, Saya Loncat dari Ketinggian 3 Meter

"Mungkin lebih baik misalnya ada aplikasi streaming untuk komersial. Enak di satu portal," ujar AG memberikan solusi mengumpulkan royalti.

Musisi Sudah Berani Lapor

Performing rights termasuk hak ekonomi seorang pencipta lagu.

Performing rights adalah hak eksklusif untuk menyiarkan, menampilkan, menayangkan, memutarkan karya lagu kepada khalayak luas.

Dalam beberapa kasus, sudah ada musisi dan pencipta lagu yang berani melaporkan kasus pelanggaran hak cipta lagu.

Misalnya Band Radja melapor ke Mabes Polri soal pelanggaran hak cipta yang dilakukan perusahaan karaoke yang menggunakan lagu milik mereka tanpa sepengetahuan dan izin.

Hingga kini kasus tersebut masih menggelinding di pengadilan.

Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menggelar perkara pelanggaran Hak Cipta dan Karya Intelektual terkait lagu Lagi Syantik yang dipopulerkan Siti Badriah, Rabu (19/ 2).

Di sidang itu, label rekaman Nagaswara sebagai penggugat dan keluarga Gen Halilintar tergugat. Nagaswara menggugat keluarga Gen Halilintar dengan total kerugian Rp9,5 miliar.

Sebetulnya, sudah ada mekanisme pengumpulan royalti untuk kepentingan pencipta lagu. Pengumpulan hak ekonomi dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Lembaga yang berada di bawah payung Kementerian Hukum dan HAM ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Lembaga ini adalah lembaga berbentuk badan hukum nirlaba yang diberikan kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait pengelolaan hak ekonomi sebuah karya.

Mereka diberikan kuasa untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.

LMKN bertugas menarik bayaran royalti di tempat-tempat umum yang menggunakan musik.

Malangnya Nasib Kesha Ratuliu, Dituduh Hamil Duluan hingga Diludahi Mantan, Kini Idap Tumor Payudara

Di antaranya kafe, karaoke, dan pentas seni. Dari LMKN, bayaran yang dikumpulkan kemudian disalurkan ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dari LMK bayaran tersebut kemudian didistribusikan ke penulis-penulis lagu yang menjadi anggota mereka.

Saat ini terdapat sembilan LMK yang telah mendapatkan izin operasional dari Kementerian Hukum dan HAM. Sembilan LMK tersebut adalah RAI, KCI, WAMI, SELMI, PAPPRI, ARDI, Armondo, Starmusic, dan PRCI.

Belum Tuntas
Namun demikian, permasalahan terkait royalti yang diterima oleh penulis lagu tidak lantas tuntas sejak LMKN berdiri.

Justru ada beberapa permasalahan baru yang timbul. Permasalahannya antara lain sistem pengumpulan royalti yang belum maksimal, data yang tidak detail, serta user lagu yang belum terbiasa oleh alur pembayaran royalti.

Wakil Sekretaris Jenderal Yayasan Karya Cipta Indonesia Lisa A Riyanto, menuturkan pihaknya tidak mendapatkan rincian data penggunaan musik yang detail setiap LMKN mencairkan royalti ke KCI.

Menurut Lisa, data tersebut justru penting untuk mempermudah pendistribusian royalti kepada komposer.

"Kita berharap LMKN memilik sistem untuk mendata itu. Semua LMK mendapatkan data yang sama, dan akurat. Seharusnya LMKN memberikan alat atau sistem atau apapun yang disesuaikan dengan masing-masing user," kata putri komposer A Riyanto tersebut kepada Tribun Network saat ditemui di Kantor KCI, Jakarta, Kamis (13/2).

Jawaban BCL Tak Peluk Noah di Pemakanan Ashraf Sinclair, Bunga Citra Lestari Sengaja Biar Menangis

Lisa mengatakan, LMKN seharusnya menyediakan sistem pendataan musik karena mereka ditunjuk sebagai pihak yang berwenang untuk menarik royalti dari user.

Sistem pendataan LMKN yang tidak kuat, katanya, berdampak kepada pendistribusian royalti para komposer.

Menurut Lisa banyak komposer yang merasa pembagian royalti tidak adil.

"Itu yang menghambat sehingga kita pakai sampel. Misalnya, satu kategori user, karaoke, ada banyak sekali. Setiap brand bahkan punya banyak gerai di seluruh Indonesia," ujar Lisa.

Cholil Mahmud, vokalis dan gitaris band Efek Rumah Kaca, menuturkan kepada Tribun Network bagaimana sistem pengumpulan royalti oleh LMKN belum maksimal.

Cholil mengatakan, data penggunaan lagunya oleh user tidak sesuai dengan data dari LMKN yang disampaikan oleh LMK.

Cholil memiliki data pemakaian karya-karyanya dari platform digital. Cholil kerap mencocokkan data dari LMK dengan data yang dia peroleh.

"Kita sudah punya realtime di dashboard yang bisa kita akses. Hasilnya beda jauh. Apa yang digunakan dalam LMK itu, bagaimana cara menghitungnya, serta live performance. Kita banyak dapat dari live performance karena kita banyak naik panggung," kata Cholil kepada Tribun Network ditemui di sebuah kafe di Jakarta, Sabtu (15/2),

"Kita tidak tahu sama sekali apakah mereka pernah mengumpulkan atau tidak," sambung Cholil. (tribun network/deo/igm/bay/cep)

VIDEO: Update : Identitas 10 Siswa SMP yang Tewas

FOLLOW INSTAGRAM TRIBUN JAMBI:

.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved