Fintech Tingkatkan Pembayaran Digital, BI Pastikan Digitalisasi Kondusif Melalui 5 Visi SPI 2025
Belakangan kehadiran layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) seperti OVO, Dana atau Go-Pay semakin diminati.
Penulis: rida | Editor: bandot
Fintech Tingkatkan Pembayaran Digital Hingga Sentuh Rp 47 T, BI Pastikan Arus Digitalisasi Kondusif Melalui 5 Visi SPI 2025
*QRIS Jadi Langkah Awal Transformasi Digital di Sistem Pembayaran Indonesia
TRIBUNJAMBI.COM- Teknologi digital saat ini berkembang sangat pesat dan cepat.
Seluruh sektor kehidupan berinovasi untuk mempermudah manusia.
Dengan sentuhan jari di smartphone, banyak hal yang bisa dilakukan.
Tak terkecuali transaksi perbankan.
Belakangan kehadiran layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) seperti OVO, Dana atau Go-Pay semakin diminati.
Operator layanan keuangan digital tersebut semakin gencar melakukan promo-promo seperti cashback.
Dari merchant besar sampai lapak dipinggir jalan, pembayaran bisa dilakukan secara non tunai melalui fintech.
Cukup scan barcode, maka pembayaran bisa selesai.
Tidak hanya pihak swasta, persaingan fintech pun juga diramaikan perusahaan milik pemerintah atau BUMN seperti LinkAja atau GPN.
Tren ini membuat pembayaran non tunai semakin meningkat.
Survei Morgan Stanley pada Februari lalu mengungkap terjadi kenaikan pengguna dan pembayaran digital di Indonesia.
Baca: Kirim Surat ke Raja Salman, Lilik Gunawan yang Naik Sepeda Motor Dari Jambi ke Makkah Minta Hal Ini
Baca: Rencana Pembangunan Fly Over Simpang Mayang, Dibuat 4 Jalur, Panjang 389 M, Ini Spesifikasinya
Baca: Cantiknya Anak Tiri Nunung, Jenguk Sang Ibu dan Iyan Sambiran, Intip 6 Foto Kleine Marsha Gardena
Pada 2027 Morgan Stanley bahkan memprediksi transaksi melalui pembayaran digital mencapai 50 miliar US Dollar.
Bank Indonesia sendiri pada 2018 mencatat nilai transaksi pembayaran digital atau elektronik menyentuh angka Rp 47,19 triliun bila dibandingkan tahun lalu angka ini meningkat tajam dari Rp 12,37 triliun.
Hasil survei juga mengungkapkan responden lebih menggunakan pembayaran digital dari perusahaan fintech dibanding bank, perusahaan telekomunikasi atau e-commerce.
Hal ini tidak lepas dari gencarnya promo yang dilakukan perusahaan fintech, baik diskon maupun cashback.
Data Bank Indonesia mengungkap rata-rata transaksi pembayaran menggunakan dompet elektronik nonbank, seperti Gopay dan OVO lebih tinggi dari transaksi uang elektronik yang diterbitkan bank.
Hal ini merujuk pada data transaksi pembayaran dari berbagai perusahaan penyelenggara jasa sistem pembayaran yang ada di Indonesia.
Ini dinyatakan oleh Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Filianingsih Hendarta pada media nasional CNN (5/4/2019).
Ia mencatat rata-rata transaksi pembayaran pengguna dompet elektronik mencapai Rp33 ribu per transaksi.
Sementara rata-rata transaksi pengguna uang elektronik terbitan bank hanya sekitar Rp13 ribu per transaksi
Menyadari hal ini Bank Indonesia pun bergerak cepat.
Untuk memastikan arus digitalisasi berkembang dalam ekosistem dan keuangan digital yang kondusif Bank Indonesia telah merumuskan 5 visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.
Kepala Unit Pengawasan Sistem Pembayaran, Pengelolaan Uang Rupiah, dan Keuangan Inklusif Berti Pracimasanti mengatakan visi ini merupakan respon atas perkembangan digitalisasi yang mengubah lanskap risiko secara signifikan, yaitu meningkatnya ancaman siber, persaingan monopolistik, dan shadow banking yang dapat mengurangi efektivitas pengendalian moneter, stabilitas sistem keuangan dan kelancaran sistem pembayaran.
"Langkah awal transformasi digital di Sistem Pembayaran Indonesia dalam membantu percepatan pengembangan ekonomi dan keuangan digital adalah BI telah melakukan soft launching QR Code Indonesia Standard (QRIS)," ungkapnya Jumat (26/7).
Kehadiran QRIS itu memungkinkan pembayaran melalui QR akan terinterkoneksi dan terinteropabilitas dengan menggunakan satu standar QR Code. Dijelaskannya, bila saat ini QR code dikeluarkan masing2 operator, maka kedepan akan ada QRIS.
"Dengan QRIS, maka baik OVO, Dana maupun Go-Pay cukup dalam satu QR code saja," sebutnya.
Berti membeberkan 5 Visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025 yaitu Pertama, mendukung integrasi ekonomi-keuangan digital nasional sehingga menjamin fungsi bank sentral dalam proses peredaran uang, kebijakan moneter, dan stabilitas sistem keuangan, serta mendukung inklusi keuangan.
Kedua, mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi-keuangan digital melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan.
Ketiga, menjaminin terlink antara Fin-tech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi digital (seperti Application Programming Interface-API), kerjasama bisnis, maupun kepemilikan perusahaan.
Keempat, menjamin keseimbangan antara inovasi dengan consumers protection, integritas dan stabilitas serta persaingan usaha yang sehat melalui penerapan Know Your Customer (KYC) & Anti-Money Laundering / Combating the Financing of Terrorism (AML/CFT), kewajiban keterbukaan untuk data/informasi/bisnis publik, dan penerapan reg-tech & sup-tech dalam kewajiban pelaporan, regulasi dan pengawasan.
Kelima, menjamin kepentingan nasional dalam ekonomi-keuangan digital antar negara melalui kewajiban pemrosesan semua transaksi domestik di dalam negeri dan kerjasama penyelenggara asing dengan domestik, dengan memperhatikan prinsip resiprokalitas.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Batanghari Pantun Bukit mengatakan terjadinya peningkatan pembayaran non tunai atau digital berkat kehadiran fintech perlu didukung.
Menurutnya, bagaimanapun pembayaran non memiliki keunggulan dibanding pembayaran tunai atau menggunakan uang kartal.
Kehadiran fintech seperti OVO, Go-Pay dan DANA menurutnya telah berhasil memasyarakatkan pembayaran non tunai.
Namun perlu diperhatikan sisi keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat.
Baik operator maupun BI sebagai regulator harus memastikan kondisi tersebut.
Pantun mengatakan konteks pertama dan utama dalam sebuah transaksi adalah keamanan.
"Sistem harus dibangun dengan baik. Pemerintah harus membangun sistem yang kuat jangan sampai ditembus. Saya khawatir kalau itu tidak dibangun, bisa merugikan masyarakat," ungkapnya.
Baca: Tsamara Amany dan Ruhut Sindir Soal Ucapan Besi dari Tiongkok, Begini Jawaban Anies Baswedan
Baca: Ternyata Telur Dinosaurus Berusia 65 Juta Tahun, Bocah Ini Tak Sengaja Temukan 11 Telur Saat Bermain
Baca: Siapa Sebenarnya Istri Wagub Jawa Timur, Saingi Luna Maya Mirip Suzanna Saat Kenakan Kebaya Hitam
Setelah keamanan, yang tidak kalah penting adalah kenyamanan.
Dalam transaksi non tunai yang terpenting adalah kondisi jaringan jangan sampai terjadi masalah saat melakukan transaksi yang berakibat merugikan masyarakat.
Misalnya tiba-tiba saldo berkurang akibat dari jaringan yang bermasalah.
Oleh sebab itu, baik operator maupun regulator harus memastikan ketersediaan jaringan yang representatif sehingga masyarakat tidak hanya merasa aman tapi juga aman dalam melakukan transaksi pembayaran non tunai.
Hal senada juga diungkapkan Yohannes Vyn Amzar, ekonom asal Universitas Jambi. Pembayaran non tunai melalui fintech telah menjadi tren tersendiri.
"Disatu sisi mempercepat proses pembayaran, sekaligus meningkatkan velocity's of money, disisi lain akan mengurangi penggunaan uang kartal," ungkapnya.
Disebutkannya, peningkatan kecepatan perputaran uang akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas sistem pembayaran dan perekonomian, sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi. Sementara penurunan penggunaan uang kertas akan mengurangi biaya pengelolaan uang secara menyeluruh.