Misteri Penjara Kuno di 'Bawah' Bekas Hotel Novita Jambi, Banyak Warga Yang Tidak Tahu
Misteri penjara kuno di bawah bekas Hotel Novita Jambi seakan telah terkubur dalam.
KISAH ini dimulai sekira 89 tahun uang lalu, masa saat kejahatan di Jambi semakin meningkat. Sebuah strafgevangenis dibangun di tengah kota.
Misteri penjara kuno di bawah bekas Hotel Novita Jambi seakan telah terkubur dalam.
Sebenarnya ada catatan sejarah menarik, jauh sebelum bangunan bertingkat di pusat perdagangan Kota Jambi itu berdiri.
Tidak banyak yang mengetahuinya, bahkan warga Jambi sendiri.
Cerita itu dimulai 89 tahun lalu.

Pada 1930, Pemerintah Belanda membangun gedung strafgevangenis (penjara dalam bahasa Belanda) untuk menghukum pencuri, rampok dan pedagang karet ilegal.
Beberapa gedung penjara dibangun di kawasan Kampung Encelek, Kampung Manggis dan daerah Pasar.
Baca: Misteri Lembah X Akhirnya Terbongkar, Kopassus Kirim Pasukan untuk Misi Berisiko Tinggi ke Papua
Baca: Mengungkap Misteri Generasi Kelima Susi Pudjiastuti dan Pindahnya Sang Kakek ke Pangandaran
Baca: Siapa Sebenarnya Angelica Amira? Sosok Mahasiswi Asal Jambi Ditangkap Polres Sleman, Prostitusi
Baca: Angelica Tertangkap, Mahasiswi Jambi Jadi Muncikari di Yogyakarta Tidurnya di Indekos Mewah
Kawasan itu berada di sekitar sekarang Jalan Gatot Subroto Nomor 44, Kota Jambi.
“Jadi yang yang merampok, jual karet tidak lewat Belanda juga ditangkap dan dimasukin ke sana,” kata Junaidi T Noor, Sejarawan Jambi, kepada wartawan Tribunjambi.com, beberapa waktu lalu.
Setelah 10 tahun bangunan itu berdiri, kejahatan di Jambi kala itu meningkat.
Belanda memperbesar bahkan menambah bangunan gedung. Belanda juga menambah jumlah militer (polisi).
“Setiap kawedanan itu ada polisinya, dan waktu itu yang jadi Wedana merangkap sebagai kepala polisi di daerahnya,” kata Junaidi.
Sejarah gedung strafgevangenis dimulai O.L.Helfrich, seorang Belanda yang dikenal sebagai residen pertama di Jambi.
Pada 1906, Jambi merupakan produsen lada yang cukup besar dalam perdagangan dunia. Luas kebunnya ribuan hektare.
Namun dari kepala Helfrich muncul gagasan untuk mengubah perkebunan lada menjadi perkebunan karet.
Dia membuat sektor pembibitan pohon karet di Pondok Meja, Sarolangun dan Tebo.
Jutaan pohon karet yang disiapkan untuk menggantikan ribuan hektare kebun lada.
“Bibit itu dibagikan gratis pada masyarakat. Pokoknya yang mau nanam karet, kasih. Main kasih-kasih gitu bae,” kata penulis buku Jambi Dalam Sejarah itu.
Persaingan Portugis
Saat Jambi semakin berkembang, pada waktu yang sama, Portugis juga mengembangkan perkebunan karet di wilayah Malaka (sekarang Malaysia).
Di sana Portugis mampu memroduksi karet dengan skala besar.
Helfrich ingin menyaingi perkebunan karet di Malaka.
Baca: Begini Nasib Anak-anak Soeharto setelah Jokowi Menang Pilpres 2019, Rekam Jejak 2004 s/d Kini
Baca: Jumlah dan Sumber Kekayaan Tiga Anak Soeharto, Bandingkan Tommy, Bambang dan Mbak Tutut
Baca: Anak Soekarno dengan Pramugari Garuda Indonesia Dilahirkan di Jerman, Kisah Kartini Manoppo
Memang kala itu perdagangan komoditas karet mendapat respon positif dari perdagangan dunia.
Awal abad 20, Inggris pun ikut mendekat dan mencampuri bisnis karet di Malaka.
Singapura yang sebelumnya dikuasai Belanda, beralih tangan ke Inggris.
Dan Belanda diberi Bengkulu sebagai daerah jajahan baru.
Pada 1920-an, masa Residen C.Portman, perdagangan karet di dunia mencapai puncak keemasan.
Belanda menerapkan sistem "kupon" untuk pembelian karet dari masyarakat.
“Jadi orang ditanya Belanda, kamu punya berapa banyak pohon karet? berapa hektare? Misal dijawab saya punya seribu batang, itu dapat berapa kupon. Bayarnya pakai kupon, baru nanti kuponnya ditukar dengan uang,” tutur Junaidi.
Dolar Jambi
Inggris menjadikan Singapura sebagai sentra perdagangan karet dari Malaka dan Jambi.
Dengan sistem dagang yang dimiliki Ingris, bisa dipastikan semua hasil perkebunan di Malaka dan Jambi masuk ke Singapura.
Jambi yang semula menjadi penyuplai pala di perdagangan, praktis berubah menjadi penghasil karet terbesar.
Waktu itu Jambi dikenal sebagai kota dolar. Masyarakatnya kaya dan punya banyak uang dolar.
Saking kayanya, uang dolar dilubangi dan dijadikan perhiasan.
Saat itu masyarakat di Jambi yang semula hanya masyarakat Melayu, bercampur dengan suku Jawa, Minang, orang Cina, bahkan India.
Orang Jawa banyak menjadi buruh perkebunan, sementara Minang, Cina dan India terlibat dalam perdagangan.
Inilah yang menjadi pemicu meningkatnya tindak kejahatan.
Perekonomian Jambi yang terus meningkat dan pertambahan jumlah penduduk, perampokan, begal hingga perdagangan karet ilegal juga meningkat.
Itu alasan O.L.Helfrich dahulu membangun strafgevangenis.
Sekira 1970-an, penjara peninggalan Belanda ini tidak lagi difungsikan.
Pemerintah Jambi membangun gedung lembaga pemasyarakatan di kawasan Patimura, sekarang Lapas Klas IIA Jambi.
Mengapa strafgevangenis bisa menjadi hotel?
Junaidi tidak tahu bagaimana ceritanya, kompleks gedung strafgevangenis bisa jadi milik pengusaha.
Itu masih menjadi rahasia yang dikubur puluhan tahun.
Kini kawasan penjara lama berubah menjadi Novita Hotel yang terbakar pada April 2018 dan sampai kini masih berupa puing-puing. ( Teguh Supriyatno / Tribunjambi.com )

Baca: Misteri Lembah X Akhirnya Terbongkar, Kopassus Kirim Pasukan untuk Misi Berisiko Tinggi ke Papua
Baca: Serangan Kopassus ke Padepokan Mbah Suro, Sosok Kebal Peluru dan Sakti Mandraguna Simpatisan PKI
Baca: Daftar 31 Danjen Kopassus 1952-Sekarang, Misi Rahasia CIA di Pulau Terpencil