Pengunduran Diri Anggota DPR atau DPRD dalam Pemilu 2019, Kepastian Hukum Atau Fakta ?
Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
Oleh Afrizal, MH
Komisioner Bawaslu Provinsi Jambi
Pemilu sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilu 17 April 2019 menjadi momentum penting dalam sejarah kepemiluan Bangsa Indonesia, dimana Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak dengan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD. Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 7 tahun 2017, KPU membentuk Peraturan KPU dan keputusan KPU, pembentukan peraturan ini adalah kewengan atribusi dari Undang-undang. Tahapan pemilu serentak Nasional yang terus berlangsung sesuai tahapan, Jadwal program yang telah diatur oleh KPU berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu tahun 2019.
Pelaksana kewenangan regulasi KPU harus memenuhi beberapa pra-syarat; pertama regulasi KPU tidak boleh bertentangan dangan UU itu sendiri, agar asas peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferiori) dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban penyelenggara pemilu dapat dihindari.
Kedua pembentukan peraturan yang sifatnya mengatur yaitu memberikan kepastian hukum. Menurut Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada public
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.