Pemilu 2019

Mahfud MD Beri Solusi Pemilh Golput Saat Pemilu 2019, Bukan Dijerat Dengan Undang-Undang Teroris

menurut Prof Mahfud MD mengatakan, tak ada dasar hukum yang dapat menjerat orang yang tidak memilih alias golput.

Editor: andika arnoldy
Instagram @mohmahfudmd
Prof Dr Mohammad Mahfud MD 

TRIBUNJAMBI.COM- Persoalan golput pada Pemilu Serentak 2019 mendatang menjadi fenomena tersendiri. 

Diprediksi jumlah golput tetap akan ada meski sudah sering ada sosialiasi tentang Pemilu Serentak 2019

Namun hingga saat ini belum ditemukan sanksi yang tepat bagi masyarakat yang golput saat Pemilu Serentak 2019

Bahkan menurut Prof Mahfud MD mengatakan, tak ada dasar hukum yang dapat menjerat orang yang tidak memilih alias golput.

Baca: Pemilu Habiskan Biaya Triliunan Rupiah, Jokowi Himbau Agar Masyarakat Gunakan Hak Pilih,Tidak Golput

Baca: Prabowo Subianto Bantah Dukung Ideologi Khilafah, Sebut Ideologi Sudah Final Untuk Bangsa Indonesia

Baca: Pernyataan Kalimat Penutup Calon Presiden Prabowo Subianto Membuat Capres Jokowi & Hadirin Tertawa.

Ia menegaskan, golput adalah hak setiap warga negara. Sehingga, tidak ada pasal yang dapat menjeratnya, termasuk pasal terkait terorisme, ITE maupun hoaks.

Tangan Mahfud MD saat komentari Jokowi, Minggu (24/3/2019).
Tangan Mahfud MD saat komentari Jokowi, Minggu (24/3/2019). ((Capture vidio.com))

"Tidak ada undang-undangnya, tidak ada hukumnya. Mau pakai pasal apa? Mau pakai teror? Bukan. Mau pakai hoaks, juga bukan. Karena ngajak (golput) itu terang-terangan, bukan berita hoaks," ujar Mahfud MD di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Kamis (28/3/2019).

Mahfud MD yang juga anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melihat, ketika seseorang menggunakan hak suara dalam kontestasi politik, maka dia menggunakan tanggung jawab moral sebagai warga negara Indonesia.

Mantan Ketua MK itu juga mengatakan, setiap suara yang dihasilkan, dapat memberi sumbangan bagi negara untuk menjadi lebih baik ke depannya.

"Oleh sebab itu, lebih baik mari kita ajak masyarakat untuk tidak golput sebagai tanggung jawab moral. Karena negaranya milik kita bersama, setiap suara itu akan memberi sumbangan bagi perkembangan kenegaraan kita ke depan," papar Mahfud MD.

Sebelumnya, calon wakil presiden nomor urut 01 Maruf Amin menegaskan, fatwa golput haram sudah dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah dikeluarkan sejak 2014.

Maruf Amin yang merupakan Ketua nonaktif MUI, menerangkan soal fatwa MUI terkait golput itu haram.

Maruf Amin berujar, fatwa itu sudah dikeluarkan sejak lama, dari hasil ijtima ulama. Yang berlaku juga pada pemilihan presiden 2014 silam.

"Supaya jangan membuang suara. Fatwa itu dimunculkan lagi karena ada isu kelompok tertentu mencoba mempengaruhi (untuk tak hadir ke TPS)," ujar Maruf Amin di Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (26/3/2019).

Maruf Amin menerangkan, fatwa golput haram diputuskan bukan karena Pilpres 2019. Sebab, sudah melalui kesepakatan di komisi fatwa MUI.

"Sudah diluncurkan di forum namanya Itjima Ulama, yang dihadiri oleh seluruh komisi fatwa se-Indonesia," jelas Maruf Amin.

Fatwa golput haram, katanya, lahir karena ingin semua orang bisa ikut bertanggung jawab di Pilpres. Jangan karena rasa marah, kemudian tak memilih.

"Supaya bangsa ini jangan kemudian-kemudian ada kemarahan, kejengkelan, ketidakpercayaan, kemudian tidak memberikan partisipasinya dalam membangun bangsa ini," papar Maruf Amin.

Maruf Amin mengatakan, ada pun keuntungan ini untuk negara dan bangsa sendiri, agar sistem pemerintahan semakin kuat.

"Tentu keuntungan untuk negara bangsa. Artinya ketika golput itu semakin sedikit itu, kepercayaan kepada sistem pemerintahan kita ada," ucap Maruf Amin.

Enggak Keren

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz mengatakan, golongan putih (golput) alias enggan menyalurkan hak suaranya saat pemliu, sudah tidak keren lagi.

"Itu hak, tapi itu sudah enggak keren. Kalau sekarang apa yang mau di-golputin?" Kata Viryan Aziz di KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (8/2/2019).

Viryan Aziz menyebut saat ini semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam menyalurkan hak pilih mereka. Terlebih, penyelenggara pemilu, termasuk KPU, sudah meminimalisir potensi manipulasi sedari awal.

• Survei CSIS: Semua Partai Baru Tak Lolos Ambang Batas Empat Persen

Jadi, menurut Viryan Aziz, calon pemilih sudah tak punya alasan untuk tidak menyalurkan hak pilihnya.

"Semua orang punya kesempatan yang sama untuk menggunakan hak pilihnya, tidak ada intimidasi, dan potensi manipulasi sangat kecil, dan satu suara sangat berharga menentukan," ujarnya.

Dalam upayanya menekan angka golput, KPU kini tengah melakukan jemput bola kepada para calon pemilih yang punya keinginan pindah lokasi mencoblos.

Baca: Pemilu Habiskan Biaya Triliunan Rupiah, Jokowi Himbau Agar Masyarakat Gunakan Hak Pilih,Tidak Golput

Sejak seminggu lalu, KPU daerah secara gencar dan proaktif melakukan kegiatan penjemputan ke daerah-daerah, dengan mendatangi perusahaan, kampus, serta pondok pesantren, dan kemudian membuka posko di sana.

KPU memfasilitasi mereka yang berstatus pendatang karena alasan pekerjaan ataupun tengah menempuh pendidikan di luar daerah asalnya.

"Sekarang teman-teman sedang mengintensifkan kegiatan secara proaktif menjemput, mendatangi perusahaan, buka posko di kampus. Kami buka posko di kampus, pondok pesantren, datang ke lapas, rutan. Begitu kita dorong supaya aktif," ungkap Viryan Aziz.

Baca: Peramal Bali, RR Istiati Wulandari Kerap Jadi Pawang Hujan Dari Pejabat Negara Hingga Asian Games

"Dengan semangat melindungi hak pilih warga negara, kita dorong suapaya teman-teman aktif. Targetnya masih, kalaupun ada yang mau pindah memilih, setelah itu jumlahnya kecil. Di awal menyiapkan itu semua," sambungnya.

KPU memberikan tenggat waktu hingga 17 Februari 2019 alias 60 hari sebelum waktu pemungutan suara, bagi mereka yang punya rencana pindah lokasi memilih (TPS) pada Pemilu Serentak 2019.

KPU menyarankan mereka yang punya niatan demikian, segera mengurusi formulir pindah memilih (A5) yang bisa didapatkan dari Panitia Pemungutan Suara (PPS) tempat pemilih terdaftar di desa/kelurahan. Selanjutnya, formulir tersebut dilaporkan ke PPS tujuan.

Baca: Prabowo Subianto Bantah Dukung Ideologi Khilafah, Sebut Ideologi Sudah Final Untuk Bangsa Indonesia

Formulir A5 bisa didapatkan pemilih dengan menunjukkan e-KTP maupun identitas lainnya ke PPS asal. Bila yang berangkutan telah selesai mengurus seluruh proses kepindahan memilih, maka data pemilih di DPT lokasi asalnya akan dihapus.

Pemilih yang sudah selesai mengurusi proses pindah lokasi pemilihan akan dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) di TPS tujuan.

Kendati demikian, pindah memilih bukan tanpa konsekuensi. Mereka yang mengajukan pindah lokasi pencoblosan tidak akan mendapat jumlah surat suara yang sama dengan tempat tinggal asal.

Baca: Peramal Bali, RR Istiati Wulandari Kerap Jadi Pawang Hujan Dari Pejabat Negara Hingga Asian Games

Baca: Iin Inawati Caleg PPP, Banyak Pengalaman Dari Aktifis Mahasiswa Hingga Konsultan Desa

Baca: Pemilu Habiskan Biaya Triliunan Rupiah, Jokowi Himbau Agar Masyarakat Gunakan Hak Pilih,Tidak Golput

Nantinya, mereka hanya akan mendapat surat suara sesuai dapil di mana tempat mereka mencoblos.

Aturan itu merupakan pembelajaran dari Pemilu 2014, di mana mereka yang pindah lokasi pencoblosan kehabisan surat suara di TPS. Mekanisme seperti itu telah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. 

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved