Misteri Gunung Everest

Seram! Misteri di Gunung Everest Terungkap! 'Si Hantu Gunung' yang Menemani Anggota Kopassus

Beberapa pendaki mengaku mendengar suara-suara misterius di ketinggian tertentu. Sampai sekarang asal muasal suara itu masih belum bisa dijelaskan.

Penulis: Tommy Kurniawan | Editor: Tommy Kurniawan
Prajurit Kopassus Pratu Asmujiono saat sampai di puncak Gunung Everest pada tahun 1997 

Seram! Misteri di Gunung Everest Terungkap! 'Si Hantu Gunung' yang Menemani anggota Kopassus

TRIBUNJAMBI.COM – Mendaki Gunung Everest menjadi salah satu impian tersendiri bagi sebagian orang.

Menjelajahi Gunung Everest memang menjadi daya tarik tersendiri bagi pendaki di seluruh Indonesia.

Namun, dengan kondisi alam yang ekstrem, para pendaki harus berhati-hati untuk mendaki gunung tersebut.

Selain kondisi alamnya, pendaki perlu mewaspadai untuk menjadi gila sementara di gunung tertinggi dunia ini?

Beberapa pendaki mengaku mendengar suara-suara misterius di ketinggian tertentu. 

Sampai sekarang asal muasal suara itu masih belum bisa dijelaskan.

Baca: Sering Tuai Kritikan, Ini Fakta Seputar Nikita Mirzani, Jangan Kaget Pendidikanya tak Disangka!

Baca: Ngeri! Ratusan Jasad Pendaki Gunung Everest yang Terkubur Bertahun-tahun Timbul, Ini Penyebabnya!

Baca: Perselingkuhan Marak Terjadi, Ini Ancaman Hukum Bagi Pelakor dan Pembinor, Masih Nekat Jadi Pelakor?

Baca: Minta Dijadikan Istri Kedua Sandiaga Uno, Inilah Sosok Vincentia Tiffani Mahasiswi Jogja Semester 6

Namun, penelitian yang dipublikasikan di jurnal Psychological Medicine mungkin telah menemukan kuncinya.

Pada ketinggian yang ekstrem, ternyata pendaki gunung sering mengalami psikosis.

psikosis adalah gangguan mental di mana seseorang tidak lagi berhubungan dengan kenyataan.

Gejala psikosis ini meliputi halusinasi dan delusi yang memicu para pendaki menjadi bertingkah aneh untuk beberapa saat.

“Gunung memang sangat indah.”

“Tetapi kami tidak berharap gunung bisa membuat kita gila,” kata Dr Hermann Brugger, kepala Institute of Mountain Emergency Medicine di Eurac Research Bolzano, Italia.

Baca: Kesal! Syahrini Laporkan Lia Ladysta ke Polisi, Ivan Gunawan Ikut Marah, Sadar Diri Aja Deh!

Baca: Tarif Kencan Dengan Mahasiswi Jogja Diungkap, Pelaku Prostitusi Online Via Twitter dan WA Ditangkap

Baca: VIDEO Viral Penumpang Wanita Bergelantungan di Dalam MRT dan Sekeluarga Makan Lesehan di Stasiun

Psikosis yang terjadi di gunung ini disebut dengan Psikosis Ketinggian Terisolasi.

Gejala ini mungkin terjadi pada ketinggian lebih dari 7.000 meter di atas permukaan laut.

Pendaki gunung dan ahli anestesi Dr Jeremy Windsor pernah mengalaminya saat mendaki Gunung Everest pada tahun 2008.

Dia mengalami kejadian aneh.

Di ketinggian lebih dari 8,2 kilometer, Windsor mengaku bertemu dengan seorang pria bernama Jimmy.

Dua perempuan Indonesia pertama dari Tim WISSEMU berhasil mencapai Puncak Gunung Everest pada Kamis (17/5/2018). (DOK. Tim WISSEMU)
Dua perempuan Indonesia pertama dari Tim WISSEMU berhasil mencapai Puncak Gunung Everest pada Kamis (17/5/2018). (DOK. Tim WISSEMU) ()

Jimmy menemaninya sepanjang hari, menyemangatinya, dan kemudian lenyap tanpa bekas.

Hingga sekarang, dokter umumnya mengira jika psikosis merupakan gejala penyakit ketinggian yang terjadi akibat kekurangan oksigen yang dialami di dataran tinggi dan bisa memicu penumpukan cairan yang berpotensi mematikan paru-paru atau otak.

Namun, analisis yang dilakukan Windsor dan rekan-rekannya menemukan bahwa keadaan Psikosis Ketinggian Terisolasi ini berbeda dengan penyakit ketinggian.

Untuk mencapai kesimpulan tersebut, peneliti menganalisis data dari 83 peristiwa psikosis di dataran tinggi yang dikumpulkan dari literatur gunung Jerman.

Peneliti juga mencoba mensimulasikan kasus psikosis ini dengan menempatkan relawan di kamar yang dikondisikan seperti berada di ketinggian ekstrem.

Misalnya dengan oksigen rendah dan tekanan udara yang rendah

Hasilnya, mereka menemukan bahwa relawan mendengar suara-suara.

Namun, gejala yang terjadi ini tidak berhubungan dengan penyakit ketinggian atau penyakit jiwa yang diderita pendaki di masa lalu.

“Mereka sehat dan tidak rentan terhadap penyakit tersebut,” kata Brugger.

Sayangnya, sampai saat ini peneliti belum yakin dengan penyebabnya.

Psikosis ini bisa jadi karena kekurangan oksigen atau tahap awal pembengkakan di area otak tertentu seperti yang terjadi pada gejala penyakit ketinggian.

Mungkin juga penyebabnya sama sekali bukan karena ketinggian.

“Seperti yang kita tahu, kurangnya kontak sosial dan kesiapan secara keseluruhan dalam waktu yang lama dapat mendorong timbulnya halusinasi,” jelas Brugger.

Pemulihan Instan

Gejala psikosis ini rupanya akan lenyap sama sekali setelah pendaki gunung meninggalkan ketinggian ekstrem yang menjadi zona bahaya.

“Mereka benar-benar pulih,” kata Brugger.

Meski pulih dengan instan, psikosis ketinggian terisolasi ini berpotensi menimbulkan kesalah yang berakibat fatal.

“Penting agar para pendaki menyadari risiko ini.”

“(Mereka) harus tahu benar bahwa halusinasi tidak nyata dan menemukan beberapa tindakan penanggulangan selama pendakian mereka,” saran Brugger.

Penelitian lebih lanjut mengenai gangguan ini akan membantu mengungkap mengenai psikosis ini.

Maret mendatang, para peneliti berencana bekerja sama dengan dokter Nepal untuk mengetahui seberapa sering pendaki mengalami Psikosis Ketinggian Terisolasi.

“Kami akan menggunakan kuisioner untuk mengumpulkan data dari pendaki yang turun dari Everest,” tambah Brugger.

Prajurit Kopassus Pratu Asmujiono saat sampai di puncak Gunung Everest pada tahun 1997
Prajurit Kopassus Pratu Asmujiono saat sampai di puncak Gunung Everest pada tahun 1997 ()

Kisah Ekspedisi Everest, Si Hantu Gunung Terkesima Semangat Pantang Menyerah Kopassus

Ada juga cerita operasi non-militer Komando Pasukan Khusus itu saat mendaki puncak tertinggi dunia, Gunung Everest.

Awalnya 43 orang

Peristiwa itu terjadi pada 1997. Tim Nasional Ekspedisi Everest berjumlah 43 orang, terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, Rakata, dan Mapala UI.

Setelah ekspedisi besar, tersisa 16 orang yang kemudian dibagi menjadi dua tim. Enam orang dari sebelah utara melalui Tibet dan 10 orang dari sebelah selatan melalui Nepal.

Tim yang dipimpin Anatoli Nikolaevich Boukreev (Kazakhastan), yang dikenal dengan The Ghost of Everest serta Richard Pawlosky (Polandia), dipilih menjadi pelatih tim.

Vladimir Bashkirov dipercaya menjadi film maker, sedangkan Dr Evgeni Vinogradski menjadi dokter tim.

Dalam bukunya yang berjudul The Climb, Anatoli Boukreev menceritakan kisah heroiknya pendakian tersebut.

Berikut nukilan catatan Boukreev yang terkesima dengan semangat juang dan rasa patriotisme anggota baret merah ini.

"Kenekatan" 3 anggota Kopassus

Tiga orang anggota Kopassus yang berhasil menaklukkan Everest pada 1997, yaitu Prajurit Satu (Pratu) Asmujiono, Sersan Misirin dan Lettu Iwan Setiawan

Misirin berjalan maju, perlahan tanpa pertolongan. Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang bermeditasi. Iwan berjalan pelan pula, namun bisa dilihat kemampuan koordinasinya berkurang meski mentalnya masih kuat.

Misirin menunjukkan dari semuanya, dialah yang paling mantap. Karena itu, kami memberikan dia kesempatan sebagai orang yang pertama mencapai puncak.

Tekad dari orang tiga ini tidak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tidak mau mereka sia-siakan.

Terpikir di otak saya, biar satu orang saja yang muncak, biarkan yang lainnya turun. Ah…! nanti saja saya pikirkan, kalau kami sudah melalui Hillary Step.

Tiba-tiba saya bisa merasakan Asmujiono konsentrasinya semakin berkurang, dan saya instruksikan Dr. Vinogradski untuk mengamati Asmujiono.

Bashkirov dan Misirin berjalan paling depan. Setelah itu Iwan dan saya, Asmujiono dan Dr Vinogradski terakhir di belakang.

Punggungan gunung hari ini tampaknya lain dari biasanya, lebih terjal dan saljunya tebal sekali.

Iwan bisa maju dengan perlahan, namun pada satu tempat badannya oleng.

Untunglah, disaat yang kritis itu, ia berhasil diselamatkan dengan tali pengaman.

"Orang baru"

Ketika saya sedang memperlihatkan padanya bagaimana cara menggunakan linggis es (Ice Pickels) di punggung gunung secara benar. Disini jelas terlihat bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang baru empat bulan lalu untuk pertama kali dalam hidupnya melihat salju.

Sebenarnya melalui rute punggung gunung ini, dengan hanya menggunakan tali pengaman sudah cukup. Hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya, jadi tidak perlu menggunakan linggis es.

Tapi, sekarang saya terpaksa harus mengajarkan menggunakan itu ke anak muda yang sabar dan bertekad bulat ini.

Saya bertanya kembali kepada diri saya sendiri.

“Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?”.

Bahkan, sebagai seorang atlet, saya tidak akan mempertaruhkan nyawa hanya sekedar untuk sampai ke puncak.

Tapi serdadu ini punya prinsip luar biasa. Mereka rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk keberhasilan ekspedisi ini.

Setelah Iwan berjuang melalui punggungan gunung, dimana pada fase ini saya harus terus mengamati, kami mendaki terus perlahan dan saya sampai di kaki Hillary Step.

Saya sampai di ujung Hillary Step, selagi Iwan dan Asmujiono yang berjalan di belakang saya melewati punggung gunung.

Di situ, saya berdiskusi dengan Bashkirov, dimana kami harus memutuskan apakah hanya Misirin sendiri yang terus mendaki sampai di puncak, dan yang lainnya turun.

Asmujiono sedang berusaha melewati Hillary Step, Vinogradski nampak di belakang.

Dia berusaha meyakinkan Iwan untuk turun, tapi dia tidak mau.

Bisa dilihat bagaimana Iwan berjuang pantang mundur, terus mendaki ke atas melalui Hillary Step.

Tidak satupun dari orang Indonesia ini bersedia untuk menyerah.

Nukilan tulisan ini bersumber dari buku yang berjudul The Climb, Anatoli Boukreev.

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved