Abu Bakar Ba'asyir Batal Bebas, Ini Tanggapan Yusril & Mahfud MD hingga Polemik Pembebasan
Diketahui, Kepala Staf Presiden Moeldoko memastikan, kini permintaan pembebasan bersyarat bagi Ustaz Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat dipenuhi
Abu Bakar Ba'asyir Batal Bebas, Ini Tanggapan Yusril & Mahfud MD hingga Polemik Pembebasan
TRIBUNJAMBI.COM - Penasihat hukum pribadi Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra tidak mempersoalkan apabila pemerintah pada akhirnya memutuskan tidak membebaskan narapidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir.
Bagi Yusril, ia telah melaksanakan instruksi dari Presiden Jokowi untuk menelaah perkara sekaligus berkomunikasi dengan Ba'asyir beserta keluarganya terkait rencana pembebasan.
Baca: Fachrori Umar Siap Lanjutkan Program Jambi TUNTAS, Tekankan Orientasi Kerja untuk Kesejahteraan
Baca: Budiman Sudjatmiko Lakukan Ini Saat Dengar Pernyataan Fadli Zon di ILC Soal pemenang Debat Pilpres
Baca: Fakta di Balik Perbedaan Informasi Pernikahan Ahok BTP, Ternyata Ini Maksudnya
"Yang penting bagi saya adalah tugas yang diberikan Presiden sudah saya laksanakan. Bahwa kemudian ada perkembangan dan kebijakan baru dari pemerintah, maka saya kembalikan segala sesuatunya kepada pemerintah," ujar Yusril melalui siaran pers resmi, Selasa (22/1/2019).
"Saya telah menelaah dengan saksama isi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 khusus terkait pembebasan bersyarat dan semuanya sudah saya sampaikan ke Presiden, termasuk pembicaraan dengan Ba'asyir," lanjut dia.

Diketahui, Kepala Staf Presiden Moeldoko memastikan, kini permintaan pembebasan bersyarat bagi Ustaz Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah.
"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," ujar Moeldoko saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa sore.
Ba'asyir tidak dapat memenuhi syarat formil sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan lebih lanjut didetailkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Syarat formil narapidana perkara terorisme, pertama, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Kedua, telah menjalani paling sedikit dua per tiga masa pidana, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan.
Ketiga, telah menjalani asimilasi paling sedikit setengah dari sisa masa pidana yang wajib dijalani.
Terakhir, menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar kesetiaan pada NKRI secara tertulis.

Tanggapan Mahfud MD 'Beda antara Grasi, Bebas Murni dan Bebas Bersyarat'
Menurut Mahfud MD, rencana Presiden Jokowi membebaskan Baasyir perlu dibarengi pembuatan payung hukum.
"Saya kira untuk sekarang itu belum bisa (Baasyir) mau langsung dikeluarkan. Kecuali mau mengubah peraturan untuk keperluan Baasyir. Mengubah peraturan hanya untuk keperluan Baasyir bisa, presiden bisa mengeluarkan Perppu, mengubah undang-undang itu," jelasnya.
Melalui akun Twitter-nya, Mahfud MD juga berpendapat tentang pembebasan Baasyir, ia juga menjawab beberapa pertanyaan dari warganet mengenai kasus ini.
Mahfud MD berpendapat bahwa Baasyir tidak mungkin dikeluarkan dengan bebas murni.
Sebab, menurutnya bebas murni hanya dalam bentuki putusan hakim bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Pembebasan yang mungkin bagi Baasyir berdasarkan hukum yang berlaku adalah pembebasan bersyarat.
Artinya, Baasyir dibebaskan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.
Pendapat itu mendapat tanggapan dari warganet yang menyebutkan bahwa presiden mempunyai kewenangan prerogatif dengan alasan yuridis atau kemanusiaa.
Mendapati tanggapan demikian, Mahfud MD beriakn penjelasan mengenai perbedaan antara grasi, bebas murni dan bebas syarat.
Jelasnya, Baasyir tidak pernah meminta grasi karena tidak mau mengaku bersalahm sehingga presiden tidakn bisa memberi grasi.
Baasyir juga tidak mungkin bebas murni karena nyatanya ia telah diputus bersalah oleh pengadilan.
Pembebasan yang memungkinkan untuk diberikan kepada Baasyir hanyalah bebas bersyarat.
Penjelasan itu kemudian kembali mendapat tanggapan berupa pertanyaan dari warganet.
"Kalau ABB (Baasyir) menolak bebas bersyarat juga, tidak ada lagi prosedur pembebasan sesuai aturan ya pak? Pdhal pak Presiden terkesan mau bebaskan beliau dgn alasan kemnusiaan," tulis akun @tirtaswarga.
Menjawab pertanyaan itu, Mahfud MD memberikan penjelasan mengenai prosedur pemberian bebas bersyarat.
Yaitu dengan terpenuhinya beberapa keadaan berikut:
1. Menurut hukum positif harus sudah menjalani 2/3 dari masa hukumannya,
2. Menurut konverensi internasional, yang bersangkutan harus sudah berusia 70 tahun.
Saat ditemui Kompas.com di Pakartu Centre, Jakarta Pusat, Selasa (22/1/2019), Mahfud MD sebut Baasyir belum memenuhi persyaratan nomor satu.
Persyaratan yang belum terpenuhi oleh Baasyir yakni menjalani hukuman selama 2/3 masa hukuman.
"Pak Abu Bakar Baasyir ini kan dihukumnya 2011, dan sekarang baru tahun 2019 awal. Padahal hukumannya 15 tahun. Berarti kira-kira kan masih 2 tahun lagi kalau mau bebas bersyarat," sambung dia.
Abu Bakar Baasyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2011 silam.
Abu Bakar Baasyir adalah pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ia dibebani hukuman 15 tahun penjara itu setelah terbukti menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Polemik Pembebasan Abu Bakar Baasyir - Tak Mau Tanda Tangan hingga Pengakuan Soal Pancasila
Rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir menjadi polemik yang mendapat banyak tanggapan dari sejumlah pihak.
Presiden Joko Widodo sebut pembebasan Abu Bakar Baasyir adalah pembebasan bersyarat.
"Kita juga punya mekanisme hukum. Ada sistem hukum yang harus kita lalui, ini namanya pembebasan bersyarat, bukannya bebas murni.
Syaratnya harus dipenuhi," ujar Presiden di Pelataran Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1/2019) mengutip Kompas.com.
Syarat yang diberikan kepada Abu Bakar Baasyir adalah setia pada NKRI dan Pancasila.
Apabila Abu Bakar Baasyir tidak mau memenuhi syarat tersebut, tentu saja ia tidak akan dibebaskan.
"Kalau enggak (dipenuhi), kan enggak mungkin juga saya nabrak (hukum). Contoh, (syarat) soal setia pada NKRI, pada Pancasila, itu basic sekali, sangat prinsip sekali," tutur Jokowi.
Namun, Baasyir tidak bersedia menandatangani sejumlah dokumen pembebasan bersyarat yang diberikan untuknya.
Atas tindakan itu, pihak kuasa hukum Baasyir, Muhammad Mahendratta memberi klarifikasi.
"Mengenai ustadz tidak mau menandatangani kesetiaan terhadap Pancasila, itu perlu saya jelaskan, yang ustaz tidak mau tanda tangan itu satu ikatan dokumen macam-macam," ujarnya di Kantor Law Office of Mahendratta, Jakarta Selatan Senin (21/1/2019) dari sumber yang sama.
Mahendratta menjelaskan satu dia antara dokumen tersebut adalah janji untuk tidak melakukan kembali tindak pidana yang pernah dilakukan.
Tindak pidana yang dimaksudkan adalah secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Atas tindak pidana itulah Baasyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 2011.
Mahendratta mnegatakan Baasyir tidak merasa melakukan tindakan itu, sehingga ia tidak mau menandatangani perjanjian tersebut.
Bersedia menandatangani perjanjian tersebut berarti Baasyir mengakui bahwa ia melakukan tindak pidana yang membuatnya dihukum itu.
Mengenai ketidaksediaan Baasyir menandatangani perjanjian itu, sejumlah pihak memberikan tanggapannya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hal itu dapat membuat pemerintah mendapat kesulitan.
Menurutnya, itu merupakan syarat umum yang harus dipenuhi narapidana jika dibebaskan secara bersyarat atau diberikan grasi.
"Kalau tidak memenuhi aspek-aspek hukum tentu yang minimal itu agak sulit juga, nanti kemudian hari orang gugat," kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Ia mengatakan, pemerintah memang berencana membebaskan Baasyir dengan alasan kemanusiaan.
Hanya, rencana tersebut juga harus didukung dengan terpenuhinya persyaratan umum seperti setia pada Pancasila.
Karena itu, Kalla mengatakan saat ini pemerintah tengah mengkaji aspek hukum hingga persyaratannya.
Ia menambahkan, pemerintah tidak mungkin mengeluarkan aturan khusus untuk satu orang.
Maka dari itu, Baasyir harus memenuhi persyaratan dari pembebasan bersyarat.
"Tentu tidak mungkin satu orang kemudian dibikinkan peraturan untuk satu orang, tidak bisa lah. Harus bersifat umum peraturan itu," lanjut Kalla.
Menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan Baasyir harus mengakui Pancasila jika ingin dibebaskan.
"Iya dong (harus mengakui Pancasila). Kalau tidak numpang saja. Kalau lama bisa diusir," ujarnya, mengutip Antara via Kompas.com, Selasa (22/1/2019).
Ryamizard berharap Baasyir bisa menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Menurut Ryamizard, tidak mungkin seorang warga negara Indonesia (WNI) seperti Ba'asyir bisa hidup di negara ini jika tidak mengakui Pancasila.
"Kalau tidak akui Pancasila, namanya numpang. Kalau numpang itu sebentar saja. Jangan lama-lama. Rugi negara kalau terlalu lama," tuturnya.
Pertimbangan mengenai syarat pembebasan Baasyir tentang kesetiaan kepada Pancasila ini pertama kali diminculkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
"Presiden tidak grusa-grusu, serta-merta, tapi perlu mempertimbangkan aspek lainnya. Karena itu, Presiden memerintahkan pejabat terkait melakukan kajian mendalam dan komprehensif merespons permintaan itu," tuturnya.
(Tribunnews.com, Kompas)