Kisah Pemburu Pedofil, Menyamar Menjadi Anak Perempuan, yang Lalu Jadi Korban

Perempuan ini tergabung dalam kelompok pemburu pedofil di Inggris. Biasanya ia menyamar sebagai gadis remaja

Editor: Nani Rachmaini
zoom-inlihat foto Kisah Pemburu Pedofil, Menyamar Menjadi Anak Perempuan, yang Lalu Jadi Korban
Net
Ilustrasi

TRIBUNJAMBI.COM - Perempuan ini tergabung dalam kelompok pemburu pedofil di Inggris. Biasanya ia menyamar sebagai gadis remaja dengan foto dan akun palsu Facebook untuk menjebak para pelaku pedofil.

Namun, Kelly Howarth namanya, ia malah kemudian diburu para penghasut di dunia maya yang menuduhnya melakukan pelecehan terhadap anak-anak.

Apakah ia telah menjadi korban tindakan balas dendam dari para pelaku pedofil itu?

Kejadiannya berlangsung beberapa bulan yang lalu, ketika Kellie tengah bersiap-siap untuk pergi ke taman untuk bermain bersama putri-putrinya yang masih kecil.

Pintu rumahnya diketuk, dan ternyata polisi.

Ibu berumur 42 tahun yang memiliki empat anak itu panik, cemas bahwa ada sesuatu yang terjadi pada putranya, yang tinggal jauh dari rumah.

Tidak, kata mereka. Kami perlu berbicara dengan Anda.

Ia lantas menyuruh putrinya yang berusia 12 tahun naik ke loteng dan memberikan mainan kepada putrinya yang masih balita.

Kellie ditemani putrinya yang lain, berusia 26 tahun, duduk menyimak penjelasan petugas polisi tentang berbagai tuduhan 'menjijikkan' yang diarahkan kepadanya.

Polisi Northumbria ternyata menerima email yang menyebutkan bahwa Kellie telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Email itu menyebut Kellie 'memvideokan' serangan seksual yang dilakukannya terhadap seorang anak 'secara berkala' sebelum "mempublikasikannya secara daring kepada para pelaku pedofil".

"Saya benar-benar terkesima," ujar Kellie.

"Hal itu benar-benar menghancurkan saya. Mengerikan. Saya sampai menangis terisak."

Tetapi Kellie tahu persis apa yang harus ia lakukan untuk membuktikan kepada polisi bahwa tuduhan itu salah.

Ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan kepada polisi kumpulan pesan-pesan kasar yang diterima di akun media sosial dia selama setahun.

Email itu merupakan aksi terbaru yang dilancarkan para onlinetrolls untuk meneror Kellie sesudah ada yang membocorkan identitasnya sebagai anggota kelompok pemburu pedofil The Hunted One.

"Ketika pertama kali mendapat pesan-pesan itu, saya benar-benar muntah," kata Kellie. "Ini benar-benar mimpi buruk."

Ia berusaha menyembunyikan semua itu dari keluarganya, namun akhirnya ia tak tahan juga.

"Suatu hari, ada yang menyerang begitu buruk di Twitter, sampai saya memukul-mukul lantai dapur dan menangis terisak-isak," katanya.

Ia memberi tahu suaminya, namun anak-anaknya yang masih kecil belum mengetahui masalah yang dialami ibu mereka.

Kelompok The Hunted One mengklaim telah memberikan berbagai bukti kepada petugas polisi yang berujung pada pemenjaraan 30 pelaku kejahatan seksual.

Kellie secara sukarela bergabung dengan kelompok itu, setelah sebelumnya mengerjakan hal serupa dengan Guardians of the North, kelompok pemburu pedofil yang lebih sedikit anggotanya.

Selama bergabung dengan The Hunted One ia menyamar sebagai seorang gadis remaja dengan akun palsu Facebook untuk mengecoh para pelaku.

Lalu ia akan menerima berbagai permintaan dari para laki-laki yang nantinya akan mulai merayunya.

Jika ia sudah mengumpulkan cukup bukti dari para tersangka, ia akan menyampaikan pesan itu kepada polisi atau mengambil bagian dalam 'operasi,' di mana anggota kelompok bisa langsung berhadapan dengan tersangka.

Mereka kerap melakukan live streaming video kepada para pengikut online mereka.

"Bagi saya hal ini merupakan sesuatu yang bagus untuk dilakukan saat itu," kata Kellie.

Namun, lima bulan setelah ia bergabung dengan The Hunted One, identitas asli para anggotanya terungkap dalam sebuah blog. Blogger anonim mengeluh bahwa mereka 'kelewat batas'.

Blog tersebut juga terkait dengan berbagai laman pro-pedofil, termasuk sebuah petisi yang ingin menghapuskan daftar pelaku pelecehan seks dan sebuah artikel yang menyerukan legalisasi gambar-gambar anak-anak yang tidak senonoh.

Kellie curiga, orang yang menerornya di dunia maya adalah salah satu pelaku pedofil yang marah, karena serangan-serangan itu terjadi tak lama setelah identitas aslinya terungkap.

"Pastilah para pedofil itu yang berada di balik teror ini," tutur Kellie. "Mereka tidak mau ada pemburu pedofil di sekitar kita."

"Jadi saya khawatir jika mereka menemukan saya, mereka akan mengambil foto anak-anak saya."

Josh Blakely, adalah mantan pemburu pedofil lainnya yang yang juga menjadi sasaran. Ia juga yakin terpidana pedofil berada di balik aksi pelecehan.

"Tidak sulit bagi mereka untuk melakukan serangan-serangan itu," katanya. "Mereka semua berkomunikasi satu sama lain."

Ia mengatakan mulai berburu pedofil untuk mendapatkan 'keadilan' karena ia pernah mengalami pelecehan sewaktu masih anak-anak dan telah membantu menyeret 28 pria pelaku pelecehan ke penjara.

Namun, ia pernah merasa ingin mengakhiri hidupnya dan takut untuk meninggalkan rumah, setelah mengalami serentetan pelecehan yang membuatnya 'mual'.

Sebuah foto palsu yang beredar daring, menggambarkan Josh tengah memegang poster yang isinya meminta agar batasan usia legal tentang kesepakatan seksual diturunkan hingga usia 6 tahun.

Bahkan ada salah satu website yang mengklaim Josh, Kellie, dan rekan-rekannya yang berada dalam komunitas pemburu pedofil adalah bagian dari "komplotan pedofil pornografi anak".

Kemudian ada juga gambar animasi yang menggabungkan foto Josh dengan foto mantan presenter BBC Jimmy Savile yang dituduh melakukan pelecehan seksual.

"Itu sangat mengganggu saya," ujar Josh.

"Ada salah satu peristiwa di bulan Agustus, salah satu (troll) yang ada di unggahan Twitter saya berkomentar bahwa saya harus digantung.

"Saya tidak bisa lagi menerima ini. Secara mental, saya diam. Saya sedikit khawatir."

Baik Kellie dan Josh telah melaporkan banyak laman ke Twitter, YouTube, WordPress, LiveLeak, Blogspot dan Facebook, namun setiap kali laman itu dibekukan, muncul laman-laman lainnya.

"Bukan hanya satu akun, tapi ada sekitar 30 akun (sekaligus)," kata Kellie. "Siapa pun yang melakukannya sangat pintar."

Kemudian ada satu twit khusus menampilkan foto Kellie dengan tulisan "PAEDO".

Namun tim Twitter mengatakan kepadanya bahwa "tidak ada aturan di Twitter mengenai perilaku abusif".

Twitter mengatakan mereka tidak menanggapi kasus-kasus perorangan.

Josh juga memiliki masalah dengan Google, yang menurutnya belum bertindak atas permintaannya terkait "hak untuk dilupakan". Seorang juru bicara mengatakan, Google sudah mengontak Josh dan memberi saran tentang cara mengelola reputasi onlinenya.

Petugas kepolisian berupaya membantu Kellie, tetapi itu terbukti sulit. Mereka juga telah menelusuri troll ke berbagai kafe internet di London, namun belum bisa diidentifikasi lebih lanjut.

Polisi Northumbria membenarkan bahwa pihaknya telah menerima email "palsu" yang menuduh Kellie "melakukan pelanggaran seksual serius", tetapi masalah itu ditutup karena klaim tersebut dianggap "palsu".

Polisi Metropolitan mengatakan mereka tengah meneruskan berbagai penyelidikan, setelah Josh melaporkan kasus trolling, tetapi belum bisa mengonfirmasi apakah para pedofil berada di balik pelecehan ini.

Kesehatan Josh membaik setelah ia mulai minum obat anti depresi dan obat tidur, namun ia masih "ketakutan" alamat rumahnya akan dipublikasikan di dunia maya oleh para troll ini, seperti sebelumnya.

"Saya tidak tahu apakah sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada saya," katanya.

"Apakah keselamatan saya terancam? Apakah saya harus pindah dari rumah saya?"

Kellie, yang mengatakan bahwa sahabat baiknya, Josh "tidak pantas menerima semua ini," juga khawatir akan masa depannya.

"Troll di Twitter telah mengancam akan memperkosa saya dan membunuh anak-anak saya," katanya.

"Saya pikir mereka akan semakin menjadi-jadi jika mereka bisa kenal orang-orang yang berada di kawasan ini, dan mencari tahu di mana saya tinggal."

Sumber: BBC Indonesia

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved