Kisah Bung Karno

Kisah Awal Kemerdekaan, Presiden Soekarno Geram Melihat Pola Politisi Berebut Kekuasaan

Bung Karno menyebut rakyat Indonesia yang sebelum kemerdekaan punya tekad yang sama, kini telah terpecah belah

Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
REPRO/TRIBUNJAMBI/SUANG SITANGGANG
Soekarno (pakai kaca mata) saat pemilihan anggota DPR 

TRIBUNJAMBI.COM – Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir Soekarno atau biasa dipanggil Bung Karno, begitu kesal melihat pola pikir para politisi, saat sistem multipartai diterapkan.

Kekesalan itu dipicu terjadinya pertentangan sesama anak bangsa, setelah partai-partai tumbuh subur seperti rumput liar dengan akar yang dangkal.

“Timbullah pertentangan di dalam. Kami menghadapi keruntuhan, persengketaan yang taka da habis-habisnya, kebingungan yang menegakkan bulu roma,” kata Soekarno dikuti dari buku ‘Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia’.

Bung Karno menyebut rakyat Indonesia yang sebelum kemerdekaan punya tekad yang sama, kini telah terpecah belah.

“Rakyat Indonesia terpecah dalam golongan agama dan daerah. Aku telah mencucurkan keringat selama hidupku justru untuk memberantas penggolongan-penggolongan semacam ini,” ucap Soekarno.

Dia menyebutkan tiap golongan mencoba menggunguli yang lain. Terjadi perdebatan bertele-tele tanpa hasil, saling menghambat, berlomba-lomba mengejar kedudukan.

“Fitnah dan caci maki, kritik-kritik yang mematikan, inilah buahnya. Setiap suara menuntut supaya didengar,” kesalnya.

Soekarno bertanya kepada ketua-ketua partai, apa rencananya bila memegang kekuasaan. Hasilnya, Soekarno tidak menemukan gambaran yang jelas dari para ketua-ketua partai itu.

Dia mengibaratkan pada sebuah gedung. “Setiap tokoh politik memimpikan gedung yang indah, akan tetapi bagaimana membangunnya, itulah yang tidak mereka ketahui,” ungkap Soekarno.

Selanjutnya Bung Karno melihat, segala daya upaya disalurkan oleh sejumlah tokoh politik untuk menciptakan krisis, supaya menjungkirkan kabinet, tanpa memandang siapa yang memegang tampuk kekuasaan.

“Hampir setiap enam bulan kabinet jatuh, lalu diganti pemerintahan yang baru. Dengan adanya gangguan menuju kesejahteraan dan pembangunan raksasa, bagaimana sang bayi Indonesia mengharapkan bisa merangkak maju dan mengambil tempatnya di antara bangsa-bangsa dewasa di dunia ini?” Soekarno mengeluhkan pola pikir para politisi saat itu. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved