Sejarah Indonesia

Terungkap! Keberadaan Soeharto di Malam Kelam Penculikan 7 Jenderal Pada Tragedi G 30S PKI

Banyak kisah yang masih jadi pertanyaan dan tanda tanya banyak pihak akan kisah kelam Gerakan 30 September/PKI (G 30S/PKI).

Editor: Andreas Eko Prasetyo
Soeharto dan Soekarno 

Ibu Tien terpana. "Madam.. Suami Madam akan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang --Soekarno," kata pria itu.

Mendengar penjelasan itu, Bu Tien hanya tersenyum dan mengaku tidak percaya dengan sang peramal.

"Ah, tak mungkin…. Suami saya hanya seorang perwira tinggi TNI AD. Sebagai Panglima Kostrad. Sesekali hanya mewakili Menteri/Panglima AD. Itupun sudah berat sekali. Saya tidak percaya," katanya.

Baca: Biaya Kuliah per Semester di ITB, Binus, UI, Unpad, ITS Hingga UGM, Kenaikannya Capai 15 Persen

Sang peramal mengaku tak akan memaksakan Bu Tien untuk mempercayai ramalannya.

Justru yang ia perlukan adalah imbalan jasa ramalannya. Ibu Tien kemudian bertanya, berapa bayarannya.

Sang pria itu menjawab, "Forty thousand (empat puluh ribu rupiah)." Akan tetapi Ibu Tien menangkapnya lain. Ia mengira sang peramal itu meminta imbalan forteen thousand (empat belas ribu).

Gara-gara itu, Bu Tien kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil uang. "Madam, not forteen but forty." Sebenarnya Ibu Tien sendiri merasa menyesal. Sebab, biaya atau ongkos meramalnya terlalu tinggi.

"Mengapa untuk hal begini saja, cuma sekedar iseng-iseng kok harus merogoh saku empat puluh ribu yang pada waktu itu tergolong jumlah yang banyak. Padahal gaji suami pas-pasan saja," kenang Ibu Tien.

Setelah uang diberikan, sang peramal itu lalu pergi.

Sejak itu Ibu Tien mengaku tak pernah lagi bertemu dengan sang peramal itu, meski Soeharto pada akhirnya menjadi seorang tokoh bangsa yang tampil pada 1 Oktober 1965, menghadapi kudeta PKI, lalu dipercaya menjadi presiden menggantikan Soekarno.

***

SOEHARTO terlihat risau. Hatinya gundah gulana. Sejumlah prajurit Kostrad tak henti-hentinya mendatangi Soeharto meminta pendapat. Namun, Soeharto tetap diam.

"Saya sering risau karena didatangi anak buah yang meminta pendapat dan penilaian saya. Mereka menunjukkan tarikan muka seperti mendesak ingin mendapat keterangan mengapa saya diam. Saya jawab, bahwa saya tidak buta! Saya telah melapor kepada atasan tentang keadaan. Situasi memang serius, tetapi saya tidak mendapat reaksi apa-apa. Apalagi yang dapat saya lakukan lebih dari itu," kata Soeharto.

Soeharto pada saat detik-detik menjelang meletusnya peristiwa berdarah, sedang menduduki posisi strategis sebagai Panglima Kostrad. Pangkatnya Mayor Jenderal.

Ny Siti Hartinah Soeharto --istri Soeharto-- pada saat itu sedang berkumpul di kantor Persit bersama pimpinan dan pengurus Persit tingkat pusat dan tingkat Jakarta Raya.

Baca: Mertua Soekarno Ternyata Samurai Jepang Klan Satake, Naoto Nemoto Paparkan Masa Lalu

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved