Detik-detik Kejatuhan Soeharto Setelah 32 Tahun Berkuasa (Bag 2)
Presiden Soeharto segera masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, begitu menerima surat dari ajudan
TRIBUNJAMBI.COM - Presiden Soeharto segera masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, begitu menerima surat dari ajudan, Kolonel Sumardjono, 20 Maret 1998.
Dilansir dari Kompas, surat yang diterima pukul 20.00 WIB itu berisi penolakan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin).
Baca: Detik-detik Kejatuhan Soeharto Setelah 32 Tahun Berkuasa (Bag 1)
Mereka tidak mau terlibat dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle nantinya.
Soeharto sangat terpukul menerima surat yang ditandatangani 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita.
Betapa tidak, Komite Reformasi dan reshuffle memang dipersiapkan Soeharto sebagai solusi atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk menuntut pergantian kepemimpinan nasional.
Selain itu, alinea pertama surat itu secara implisit juga meminta "Jenderal yang Tersenyum" itu untuk mundur.
Penolakan 14 menteri itu menambah deretan penolakan. Sebelumnya, tokoh seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid juga tidak bersedia terlibat dalam Komite Reformasi.
Kondisi saat itu memang tidak menguntungkan Soeharto.
Baca: Mesin Kapal Mati, PasukanTNI AL Menang Pertempuran Meski Dikeroyok Pesawat dan Kapal Perang Belanda
Aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi berubah menjadi tragedi setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh pada 12 Mei 1998.
Kerusuhan bernuansa rasial pun meletus pada 13-15 Mei 1998, yang membuat Jakarta terasa lumpuh.
Tuntutan agar Soeharto mundur semakin kencang. Aksi demonstrasi mahasiswa juga semakin besar hingga bergerak masuk dan menguasai kompleks parlemen pada 18 Mei 1998.
Kondisi ini menyebabkan Harmoko, yang beberapa bulan sebelumnya meminta Soeharto jadi presiden, kini malah meminta Soeharto mundur.
Soeharto merasa ditinggalkan.

Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi.
Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.
"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.
"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan ‘tinggal gelanggang colong playu’. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.
Adik Soeharto, Probosutedjo, mengungkapkan bahwa Bapak Pembangunan itu terlihat gugup dan bimbang pada Rabu malam itu.
"Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujar Probosutedjo.
Jelang tengah malam, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadilah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto berbulat hati untuk mundur esok hari, 21 Mei 1998. Kekuasaan akan diserahkan kepada Wapres BJ Habibie.
Kekuasaan selama 32 tahun itu runtuh.
Soeharto jatuh.
Artikel ini sudah terbit di Vik.kompas dengan Judul 'Kejatuhan (Daripada) Soeharto, Pada Penghujung Kuasa)