Selamat dari Segitiga Bermuda, Ini Kesaksian Pilot di Kawasan Penuh Misteri Itu

Kisah hilangnya lima pesawat tempur Amerika, Bomber Torpedo, yang tergabung dalam skuadron Flight 19 pun menjadi sorotan dunia

Editor: Suci Rahayu PK
Ilustrasi 

TRIBUNJAMBI.COM - Siapa yang tidak tahu mengenai Segitiga Bermuda, sebuah kawasan di Samudra Atlantik seluas 4 juta km persegi.

Kawasan yang diselimuti dengan berbagai kisah misteri ini "terbentuk" dari tiga tempat yang bila ditarik garis penghubung akan membentuk sebuah bidang segitiga.

Baca: Kisah di Perang Dunia II, Kecoh Musuh dengan Tank dan Pesawat Kayu

Ketiga tempat itu adalah teritorial Britania Raya, Puerto Riko, dan Miami.

Berbagai kisah hilangnya kapal dan pesawat yang melintas masih terus terdengar hingga saat ini.

Kisah hilangnya lima pesawat tempur Amerika, Bomber Torpedo, yang tergabung dalam skuadron Flight 19 pun menjadi sorotan dunia saat itu—mungkin juga sampai saat ini.

Tidak berfungsinya alat navigasi pada pesawat dalam kawasan itu, fenomena alam, hingga keterlibatan alien pun seringkali dituding sebagai penyebab hilangnya pesawat dan kapal di sana.

Walau banyak kisah mengenai hilangnya pesawat dan kapal, namun kisah mengenai orang-orang yang selamat dari "cengkeraman" segitiga bermuda pun juga menjadi penyeimbang pemberitaan.

Ilustrasi Segitiga Bermuda
Ilustrasi Segitiga Bermuda (Forum Kompas)

Meski begitu, kesaksian mereka juga tetap menyisakan banyak pertanyaan.

Bruce Gernon

Bruce Gernon
Bruce Gernon ()

Bruce Gernon memulai perjalanan dari Andros Town Airport di Bahama menggunakan pesawat Beechcraft Bonanza A36 bersama dengan ayah dan rekan bisnisnya, Chuck Lafeyette.

Dalam penerbangan, Bruce melihat awan besar dengan perkiraan ketinggian 18 km dari darat.

Saat itu mereka berada dekat dengan pulau Bimini.

Manuver untuk menghindari awan tersebut pun dilakukan. Sambil menghindar, Bruce memerhatikan bahwa awan tersebut berubah bentuk dan melengkung seperti donat dengan diameter 48 km.

Pesawat pun terjebak di dalam "awan donat" tersebut.

Setelah menerbangkan pesawatnya sejauh 20 km, Bruce melihat sebuah celah pada sisi barat awan dan memilihnya sebagai jalur untuk keluar dari awan.

Ilustrasi kisah Bruce saat melarikan diri melalui lorong awan
Ilustrasi kisah Bruce saat melarikan diri melalui lorong awan ()

Terbang melewati celah tersebut membutuhkan waktu sekitar 20 detik.

Dalam cerita yang dibagikan, Bruce mengatakan bahwa di dalam celah pelarian itu ia sempat merasa (sekitar lima detik) pesawat terbang tanpa beban dan kecepatan pun bertambah.

Baca: Nama Mahfud MD Kandidat Kuat Cawapres Jokowi di Pilpres 2019, Ini Kelebihannya Dibanding Calon Lain

Baca: Sambut Hari Kemerdekaan, Swiss BelHotel Jambi Tawarkan Merdeka Paketku

Setelah berhasil lolos, Bruce kemudian menyadari bahwa ia sudah terbang selama 34 menit dan berada di Palm Beach. Artinya, dari Bandara Andros Town sampai ke Palm Beach hanya memakan waktu 47 menit.

Padahal jarak tersebut biasanya ditempuh dalam waktu 75 menit.

Pertanyaan yang tersisa dari kisah ini adalah bagaimana cara Bruce mencapai jarak 402 km hanya dalam waktu 47 menit.

Apakah berhubungan dengan kesaksian Bruce mengenai pesawat yang terasa ringan?

Cary Gordon Trantham

Cary Gordon Trantham
Cary Gordon Trantham ()

Sama dengan Bruce Gernon, Cary Gordon juga seorang pilot yang sedang melakukan penerbangan yang tidak berbeda dengan biasanya saat kisah tersebut dimulai.

Cary terbang seorang diri menuju Ormond Beach dari Naval Air Station di Key West pada tahun 1995.

Saat itu Cary yang sudah terbiasa menerbangkan pesawat ini melewati kawasan Segitiga Bermuda.

Cary Gordon memang sudah diperingatkan mengenai dead air space, sebuah kawasan dengan keadaan hilang kontak radio.

Area ini berada di atas teluk antara Keys dan Florida.

Saat perjalanan ke Ormond Beach, Cary sampai dengan selamat. Namun berbeda dengan perjalanannya menuju pulang. Cary mengalami masalah.

Cary diberitahu untuk mengubah rutenya karena diperkirakan akan ada badai.

Namun saat terbang di atas area Naples, Cary mulai kehilangan kendali atas pesawatnya.

Kompas dan alat navigasi lainnya tidak berfungsi. Alat pengukur ketinggian pun terus berputar-putar.

Cary tidak lagi bisa melihat batas antara langit dan laut karena keadaan saat itu benar-benar gelap.

Segala cara dilakukan oleh Cary untuk mengendalikan pesawatnya dan menghubungi menara pengawas.

Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Pesawat tetap "terombang-ambing" di langit.

Dengan mengandalkan insting dan memaksakan kemudi dalam pesawatnya, Cary mencoba menanjak ke ketinggian 4000 kaki atau setara dengan 1.219 m.

Tak disangka, Cary berhasil melakukannya dan semua kembali normal.

Ia dapat mengendalikan pesawatnya dan juga dapat terhubung dengan menara pengawas melalui radio. (Bhisma Adinaya/National Geographic Indonesia)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved