Permintaan Terakhir Terpidana Mati Jelang Eksekusi, Bikin Bulu Kuduk Berdiri!
Detik-detik terakhir seorang terpidana mati, biasanya menjadi rahasia yang dibawa ke lubang kubur.
Dia menjawab, "Benar."
"Sebagaimana diketahui, Saudara telah merampok serta mengakibatkan matinya orang, karena itu pengadilan negeri sudah memutuskan hukuman mati. Apakah pernyataan saya ini betul?"
Dia membenarkan.
"Berdasarkan keputusan pengadilan tinggi hukuman itu dikuatkan Mahkamah Agung dalam keputusan kasasinya juga menolak permohonan kasasi Saudara. Selanjutnya Saudara mengajukan grasi dan berdasar Kepres yang saya terima, permohonan grasi Saudara ditolak Presiden. Oleh karena itu, tidak ada upaya hukum lain bagi Saudara dan hukuman mati akan dilaksanakan tiga hari lagi," jelas saya.
Dia nampaknya tidak menyesal dan hanya berkata, "Ya ...."
Karena hukuman mati akan dilaksanakan, saya menanyakan lebih lanjut, "Apakah pada saatnya nanti Saudara ingin didampingi penasihat rohani?"
"Tidak," katanya.
Sebaliknya, dia minta agar dihadirkan saudaranya. Permintaan ini dipenuhi sehari sebelum eksekusi.
Tidur mendengkur
Pemberitahuan itu berlang sung selama 30 menit. Kemudian, dia digiring lagi ke sel yang lain. Tempat menunggu eksekusi ini tidak ada keistimewaannya.
Yang penting lampu terang, bisa dikontrol dan diawasi dari jauh serta mendapatkan pengawasan lebih. Dia juga dijaga jangan sampai bunuh diri.
Setelah selesai pemberitahuan, saya menunggu di Surabaya, untuk hadir lagi saat eksekusi.
Waktu itu justru menjadi saat yang menegangkan bagi saya, karena ada kemungkinan dia melarikan diri atau ada peraturan baru. Saya sampai ketok-ketoken (terbayang-bayang).
Menurut petugas penjara, selama masa penantian eksekusi dia tidak menunjukkan penyesalan dan menganggap hukuman mati adalah biasa dan tidak menakutkan.
Hal ini dia perlihatkan dengan cara berbuat sewajar mungkin. Kalau tidur mendengkur. Dia malah mengatakan pada petugas penjara, "lihat saja nanti, akan terjadi hal-hal yang luar biasa."
Menurut penuturan salah seorang pengawal yang menceriterakan pada saya, saat pelaksanaan hukuman mati Bobby dijemput di sel sebelum pukul 04.00 WIB.
Dia mengenakan hem lengan panjang dan bersandal jepit. Pada waktu keluar, tangannya sudah diborgol. Saat itu lampu neon penjara masih menyala terang.
Terhukum meninggalkan blok melalui pintu yang berjarak 15 m dari selnya dengan diiringi petugas penjara dan petugas keamanan.
Lebar pintu 3 m dan berjeruji, tetapi yang dibuka hanya setengahnya. Dia digiring menuju pintu gerbang luar. Pintu inilah yang menjadi saksi saat-saat terakhir kehidupan Bobby.
Dia tampak tenang, namun susah menduga perasaannya. Beberapa langkah di luar pintu dia berhenti dan ingin berpidato. Permintaan ini ditolak. Dia meminta sebatang rokok.
Salah seorang petugas memberinya dan sekaligus menyulutkan apinya. Inilah kenikmatan terakhir yang masih diizinkan.
Sambil terus merokok, petugas mengikat kedua ibu jarinya menjadi satu. Sebuah tali juga diikatkan pada kedua lengannya. Tali ini dililitkan pula beberapa lapis pada lehemya.
Semua berjalan cepat. Petugas mengikuti proses ini dengan penuh kewaspadaan. Tak jauh dari tempat itu sebuah mobil station-wagon membawanya ke tempat eksekusi di suatu tempat dekat penjara. (Seperti diceritakan pada Yanto dan Gede)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1991)