Sambung Hidup dan Biayai Pacar, Indi Jual Diri, Tarifnya Hingga Tempat Mangkalnya Disini
Mengenakan celana ketat coklat dan kaus tangan panjang bergaris, ia mengarungi kehidupan malam itu. Bibirnya merona, alis tampak
TRIBUNJAMBI.COM, MANADO - ‘Terlalu cantik untuk bekerja’. Klaim Lijiang (30), wanita dari Provinsi Yunnan, Cina sempat heboh pada pertengahan April 2018. Mantan kasir ini memilih jadi pengemis jalanan setelah dipecat.
Cerita Lijiang memang tak persis sama dengan Indi (20) bukan nama sebenarnya, penghuni kawasan Taman Kesatuan Bangsa (TKB) di Kota Manado. Saat berbincang dengan tribunmanado.co.id, Sabtu malam akhir pekan di pertengahan April, Indi tampak cuek.
Baca: Nenek Ini Selama 28 Tahun Tak Mengonsumsi Gula: Kini Lihatlah Hasilnya, Wow, Sungguh Luar Biasa
Mengenakan celana ketat coklat dan kaus tangan panjang bergaris, ia mengarungi kehidupan malam itu. Bibirnya merona, alis tampak bergaris dengan rapi. Ia memegang botol kecil minyak yang sesekali dicium.
Pandangan matanya liar. Melihat ke mana-mana, memerhatikan sekeliling TKB. Seperti sedang mencari sesuatu. Beberapa lelaki menyapa, ia membalas dengan senyum simpul.
Saat tribunmanado.co.id menyapa, ia seketika berhenti. Ia mengambil tempat duduk di TKB. Pernah bertemu Indi dan sekawanannya akhir Februari 2018 di Tugu Lilin, kawasan Marina Plaza Manado.
Dengan polos Indi mengaku sedang mencari tamu, saat tribunmanado.co.id, menanyakan sedang apa dia di TKB. Ya, dia mengaku menjadi seorang wanita panggilan yang biasanya mangkal di TKB dan sekitaran Pasar 45 Manado.
Kegiatan yang rutin ia lakukan setiap malam. Semalam bisa dapat Rp 200 ribu. Indi mulai mencari tamu pukul 19.00 hingga tengah malam. Tak tentu sampai pukul berapa.
"Kalau sudah ada, saya langsung berkumpul dengan teman-teman. Kalau tidak, tunggu sampai tengah malam," ucap Indi polos.
Tak setiap malam Indi mendapat tamu, kadang meski telah dandan, tak ada sepeserpun rupiah yang masuk ke kantong. Bayarannya kadang Rp 100 ribu, kadang pula Rp 200 ribu.
Indi terpaksa jadi PSK untuk makan, demikian pengakuannnya. Bukan ia yang memegang uang, tapi pacarnya. Buat ongkos hidup ia dan pacarnya di Manado.
Baca: Fahri Hamzah: Jangan Sembunyi Dibalik Citra. Ayo Main di Gelanggang Terbuka. Ini Aku Dimana Kamu!
Indi tak ingat jelas kapan keluar dari rumah. Ia berasal dari Tondano, Minahasa. Sebulan sekali pulang untuk menjenguk ibu dan enam saudaranya. Indi tujuh bersaudara.
Indi adalah anggota kelompok anak gelandangan yang menamakan diri Amitater. Atau singkatan dari anak miskin tapi terdidik. Entah kenapa kelompok yang beranggotakan 20 orang ini menamakan diri Amitater, padahal rata-rata dari mereka putus sekolah.
Sehari-harinya, anak-anak ini hanya tidur di emperan toko di kawasan Pasar 45. Mereka pergi ke Jarod jika ingin buang air dan mandi. Jika waktu telah siang, mereka mulai berkumpul di Tugu Lilin hingga tengah malam. Setiap hari dengan rutinitas yang sama.
Akhir Februari 2018, tribunmanado.co.id, bertemu dengan Titin, seorang anggota kelompok ini di Tugu Lilin. Ia tampak pucat, tak sanggup berjalan cepat. Sambil menahan sakit, ia berjalan memegang pinggangnya.
Titin (27) rupanya baru keluar rumah sakit, karena keguguran. Baru keluar siang itu. Saat itu kelompok ini menjalankan kartu sumbangan untuk membayar biaya rumah sakit. Titin tak punya kartu tanda penduduk (KTP), apalagi BPJS Kesehatan.
Ia dan pacarnya, yang juga anggota kelompok tak punya uang untuk bayar rumah sakit di RSUP Kandou Malalayang. Titin dan pacarnya belum menikah, tapi terlanjur hamil, namun pada akhirnya keguguran.
Titin memperlihatkan tagihan rumah sakit sebesar Rp 515 ribu. Atas dasar satu rasa, satu hati, anggota kelompok ini menjalankan kartu sumbangan demi memenuhi tagihan rumah sakit.
Namun Titin tak bisa menjelaskan kenapa ia sudah keluar rumah sakit, sementara tagihan belum bayar. Dan ia pun masih terengah-engah berjalan. "Katanya pacar saya akan ditahan, kalau belum bayar," ujar dia waktu itu.
Titin adalah warga Poigar, Minahasa Selatan. Sudah beberapa bulan terakhir ia jadi anggota kelompok dan hanya tidur di emperan toko di Pasar 45. Ia rela meninggalkan keluarganya demi hidup di Manado bersama kelompok ini.
"Dia sudah baikan tapi masih pemulihan kondisi," ujar Indi saat tribunmanado.co.id menanyakan kondisi Titin sekarang.
Opo, pemimpin kelompok Amitater mengatakan sudah beberapa waktu ia mengumpulkan anggotanya Amitater. Anggota kelompok ini datang dari berbagai daerah seperti Minahasa, Bolmong, Bitung dan daerah lainnya.
Opo mengaku menerima siapa saja yang mau bergabung dengan kelompok mereka. Opo mengaku adalah korban kapal pamboat yang hilang, lalu akhirnya berhasil diselamatkan. Ia memutuskan tak lagi melaut, dan hidup bergelandangan di Manado.

Beberapa dari anggota kelompok laki-laki mengaku menjadi tukang parkir untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya jadi tukang di Pasar 45. Mereka sering berkumpul berkelompok di Tugu Lilin.
Sementara dari penelusuran tribunmanado.co.id, pada malam hari para anggota kelompok perempuan menjadi PSK, seperti Indi. Uang yang didapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam kelompok ini rata-rata saling berpasangan.
Kapolresta: Kami Tangani Masalah Hukumnya
Kapolres Manado Kombes Pol FX Surya Kumara menegaskan, pihaknya siap menindaklanjuti jika ada masalah hukum yang dilakukan oleh para pekerja seks komersial (PSK) yang biasanya nongkrong di Taman Kesatuan Bangsa (TKB).
Penegasan itu diungkapkannya ketika dihubungi tribunmanado.co.id, Selasa (1/5/2018) malam. "Kalau ada permasalahan hukum pasti kami tangani, cuma sampai sekarang belum ada yang mengadu tentang keberadaan mereka," kata dia.
Perwira tiga bunga ini menambahkan, pihaknya juga sering berkoordinasi dengan Dinas Sosial terkait permasalahan ini.
"Mereka ini kan kebanyakan orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Nah, itu tugas pemerintah untuk memberi mereka pekerjaan. Kami hanya menangani masalah hukumnya," kata dia.
Mantan Kapolres Minahasa Selatan ini juga meminta masyarakat tidak enggan melaporkan jika ada masalah hukum yang ditemukan oleh kehadiran mereka. "Jika memang meresahkan silahkan dilaporkan," tandasnya.
Baca: Ramalan Zodiakmu Bulan Ini Aries Harus Ekstra Hati-hati Lengkapnya Cek di Sini!
Dinsos ‘Menyerah’ Hadapi Gelandangan
Gelandangan di Manado yang tengah berkembang dan tak terhindari. Pemerintah Kota Manado melalui Dinas Sosial mengakui gelandangan dan pengemis adalah masalah kompleks.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial, Olga Krisen mengaku, Pemkot bukan tutup mata dengan keberadaan gelandangan.
Ada razia, serta pemulangan gelandangan di tempat asal. Kata Olga, sudah ada beberapa gelandangan yang dipulangkan ke Bitung, Minahasa, daerah tempat asal mereka. Tapi tak hitung lama, mereka kembali ke Manado.
Dinsos Kota Manado bertanggung jawab pada gelandangan yang berasal dari Sulut. Sementara provinsi punya kewenangan pada gelandangan dari luar Sulut. Anak-anak Makassar rupanya juga banyak berkeliaran di Manado.
Tapi kata Olga, mereka tak menetap. Hanya menjadikan Manado sebagai tempat transit. Manado memang sering menjadi tempat transit. "Kemarin anak-anak punk, tapi katanya hanya sementara karena ada event. Sekarang mereka sudah tak ada," ujarnya.
Dinsos bersama petugas gabungan sudah berhasil menertibkan gelandangan dan pengemis yang sering mangkal di sekitar Tugu Zero Point. Saat ini, tak ada lagi yang jualan dan meminta-minta di pinggir jalan.
Keberadaan mereka memang mengganggu wajah kota. Mengganggu kenyamanan warga. Hal yang sama juga dilakukan pada para penderita tunanetra yang jualan di Manado. Dinsos mengaku telah ada upaya pada mereka.
"Para tunanetra kami berikan bantuan untuk usaha kecil-kecilan. Buka warung atau pijat. Tapi masih berkeliaran juga. Kemarin ketemu seorang Bapak, kami tanya warungnya bagaimana, katanya istrinya yang jaga," ucap Olga lalu tertawa.
Pantauan tribunmanado.co.id, banyak pengemis tunanetra yang berkeliaran di Manado. Mereka keliling rumah makan untuk jualan kacang dan tisu, ada seorang normal yang mendampingi mereka. Sering juga anak-anak. Ada pula yang mangkal di pinggir jalan, tepat di jalur mobil.
Anak-anak gelandangan pun memenuhi tempat terbuka untuk nongkrong. Seperti di kawasan Pasar 45, Marina Plaza dan beberapa tempat keramaian lainnya. Mereka biasanya kumpul berkelompok.

Kenangan ‘Pagar Besi’ Masih Membekas
Jam menunjukan pukul 19.45 Wita. Malam itu begitu ramai.
Ivon dan anaknya Dei (8), warga Wonasa Kapleng tampak asyik santai di Taman Kesatuan Bangsa, Kota Manado untuk berakhir pekan itu.
Ivon dan anak perempuannya itu duduk di tengah taman. Menghadap atraksi air mancur berwarna-warni. Semburan air ini seiring dengan instrumen lagu yang terdengar di seantero taman. "Saya sedang menunggu suami saya lagi di tempat jahit," ucapnya saat ditemui tribunmanado.co.id.
Ivon mengaku baru kali itu ia duduk menikmati suasana TKB. Padahal ia sendiri warga Manado. Meski begitu, Ivon enggan duduk di situ sampai malam. Ada ketidaknyamanan.
Suasana TKB yang berubah membuat Ivon mau duduk bermenit-menit di situ. Banyak lampu, ada tempat duduk, ada hiburan. Sudah jauh lebih tertata.
"Sebelumnya gelap, juga kan terkenal dengan tempat mangkal PSK. Ini saja kalau sudah di atas pukul 10 malam (22.00), sudah mereka semua di situ," ucapnya.
Ivon dan Dei hanya dua di antara puluhan warga yang menikmati suasana TKB saat malam. Jauh berbeda dari kondisi sebelum dipugar. Tampak sejumlah keluarga, beserta anak-anak mereka nongkrong di TKB ini.
Ada yang asik berfoto-foto ria berlatar belakang antraksi air mancur. Ada punya yang nekat berada di tengah-tengah air mancur, demi mendapat foto bagus. Bahkan ada rest area yang di situ ada toilet dan nursery room.
Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi TKB sebelumnya. Gelap dan memberi stigma tak baik di masyarakat yakni tempat berkumpulnya PSK dan tempat transaksi. Banyak orang enggan ke sini.
Pemugaran TKB oleh pemerintah perlahan mulai menghilangkan stigma TKB itu tempak esek-esek. Warga sudah mau menghabiskan waktu di TKB dengan suasana baru yang penuh hiburan.
Namun para PSK belum benar-benar bisa langsung hilang di kawasan ini. Belum tengah malam, sudah tampak beberapa PSK yang nongkrong di situ. Seperti pertemuan Tribun dengan Indy (bukan nama sebenarnya), salah seorang anak gelandangan yang jadi PSK.
Stigma TKB (dulunya pagar besi) tempat PSK belum hilang sama sekali. Wanita yang berjalan sendiri dan duduk di kawasan ini akan dikira PSK juga. Ada pandangan dari pria yang bisa jadi memang mencari mangsa di situ.
Kasatpol PP Manado, Xaverius Runtuwene mengatakan lokasi tempat mangkal pekerja seks komersial di Kota Manado ada di jalan Boulevard, depan blue banter, Tugu Lilin serta TKB.
"Jalan Sarapung, tempat mangkal waria masih ada. Tapi mereka rupanya pindah di Kubur Borgo, di situ kan gelap," ujarnya.
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Manado sebenarnya telah berulang kali merazia tempat prostitusi di Manado. Namun rupanya para pelaku tak jera.
"Kami razia, kami tangkap, kami lakukan pembinaan. Itu rutin kami lakukan. Tapi setelah kami lepas, mereka kembali lagi," ujar Kasatpol PP Manado, Xaverius Runtuwene.
Xaverius mengaku petugas sering kucing-kucingan dengan pelaku prostitusi ini. Mereka seakan sudah tahu kalau ada petugas, di lokasi razia senyap. (fin/nie)
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Pengakuan ‘Gadis TKB Jual Diri': Sambung Hidup hingga Biayai Pacar,