Petani Sawit Swadaya Belum Mendapatkan Perlindungan

Harga sawit ditingkat petani swadaya terus memprihatinkan. Saat ini, disparitas harga tandai buah segar

Penulis: Tommy Kurniawan | Editor: Fifi Suryani
KONTAN/DANIEL PRABOWO

Laporan Wartawan Tribun Jambi, Tommy Kurniawan

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Harga sawit ditingkat petani swadaya terus memprihatinkan. Saat ini, disparitas harga tandai buah segar (TBS) dari petani sawit swadaya dan plasma sangat mencolok. Kon­disi itu juga berimbas ke pendapatan mere­ka, terutama di saat harga TBS anjlok.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Budidaya mengata­kan, harga yang setiap pekan ditentukan bedasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 14 tahun 2013. Dalam peratu­ran tersebut dijelaskan tentang tandan buah segar (TBS) dari pekebun. Definisi pekebun ad­alah petani kelapa sawit yang bermitra dengan perusahaan perkebunan.

"Jadi harga yang ditetapkan setiap pekan adalah untuk petani sawitplasma yang bermitra. Nah kalau untuk petani swadaya be­lum mendapat perlindungan harga dari pemerintah," jelasnya.

Karena itu, adanya perbedaan harga antara petani sawit swa­daya dengan petani plasma juga diakui pihak Disbun memang ada. Jadi di lapangan, lebih dom­inan harga yang ditetapkan setiap pekannya lebih tinggi dari harga beli pabrik kelapa sawit kepada hasil kebun petani swadaya.

Budidaya mengaku, beberapa faktor yang menjadi penyebab hal itu terus terjadi, diantaranya masih minimnya pembinaan yang dilakukan intansi pemerintahan. Kemudian seharusnya sejak pembangunan kebun petani swadaya sudah disandingkan dengan unit pengolahan dan juga dilakukan kemitraan.

"Apakah itu kemitraan sebatas jual beli produk, atau dalam hal pemeliharaan kebunnya. Jika sudah seperti itu, pemerintah dapat menekankan bahwa pabrik wajib membeli sawit pet­ani sesuai dengan harga yang te­lah ditetapkan," jelasnya.

Faktor lain yang menyebabkan harga jual sawit petani swadaya selalu rendah adalah ada indikasi bahwa petani menggunakan bib­it unggul tidak bersertifikat. Den­gan artian keunggulan tersebut belum teruji.

"Karena jika sudah meng­gunakan bibit tidak bersertifikat, produksinya akan menurun. Pabrik inikan yang dibeli sebe­narnya bukan TBS, tapi CPO atau intinya. Kemudian juga terk­adang kebiasaan petani ini han­ya mengambil sawit tapi biji brondolan yang jatuh tidak di­ambil. Padahal brondolan itu paling tinggi rendemennya," katanya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved