Sidang Praperadilan BG
Ada Tanda Tanya di Balik Keputusan Hakim Sarpin
Hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang praperadilan gugatan Komjen Budi Gunawan atas Komisi Pemberantasan Korupsi
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang praperadilan gugatan Komjen Budi Gunawan atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memutuskan menerima sebagian gugatan calon Kepala Polri tersebut. Sarpin menyatakan, penetapan tersangka Sarpin tidak sah secara hukum dan KPK dianggap tak berwenang mengusut Budi Gunawan karena yang bersangkutan tak termasuk dalam kategori penyelenggara negara.
Namun, banyak tanda tanya yang tersisa pasca-putusan itu dibacakan. Kritik pun dilayangkan terhadap pertimbangan hakim Sarpin dalam memutus perkara tersebut.
Perdebatan objek praperadilan
Dalam putusannya, Sarpin menyatakan permohonan praperadilan yang diajukan Budi termasuk dalam objek praperadilan. Dengan demikian, pengadilan berhak memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka Budi oleh KPK. Namun, pandangan ini menuai kritik.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin Tumpa, menilai, hakim sudah secara sepihak menyatakan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Ia menyebutkan, Pasal 77 dan Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara jelas menyebutkan bahwa penetapan tersangka bukan objek praperadilan.
"Hakim sudah memperluas kewenangan praperadilan. Dia menyatakan, karena (penetapan tersangka) tidak diatur dalam KUHAP, maka hakim boleh memasukkannya. Itu tidak benar," kata Harifin saat dihubungi, Senin (16/2).
Harifin menjelaskan, praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal tersebut mengahtur, anya ada enam hal dalam sebuah proses hukum yang dapat diajukan praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Selain itu, diatur pula mekanisme mengenai permintaan ganti rugi dan rehabilitasi nama baik.
Lalu, pada Pasal 95 KUHAP, lanjut Harifin, memang diatur adanya tindakan lain yang bisa juga diajukan ke praperadilan. Namun, sudah disebutkan di sana bahwa tindakan lain tersebut berupa penggeledahan dan penyitaan.
"Jadi, hanya itu yang menjadi kewenangan dan objek praperadilan. (Penetapan) tersangka tidak termasuk," kata dia.
Kuasa hukum KPK Chatarina Mulia Girsang mengatakan, pertimbangan hakim pada poin ini bisa merusak tatanan hukum di Indonesia. Jika demikian, semua koruptor dan penjahat di Indonesia dapat mengajukan praperadilan dan mungkin saja dimenangkan.
Hakim Sarpin 'masuk angin'
Yang menjadi sorotan kedua, hakim berpendapat jabatan Kepala Biro Pembinaan Karier (Karobinkar) adalah golongan Eselon IIA, bukan Eselon II. Oleh sebab itu, jabatan itu tidak termasuk penyelenggara negara. Selain itu, hakim juga berpendapat bahwa jabatan itu bukan bagian dari penegak hukum karena hanya berfungsi sebagai administratif.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Hifdzil Alim menilai, hakim Sarpin 'masuk angin' karena menganggap Budi bukan bagian dari penyelenggara negara dan penegak hukum. Menurut Hifdzil, pengertian aparat penegak hukum itu melekat pada institusi Budi Gunawan. Siapa pun yang masuk ke lembaga Polri adalah aparat penegak hukum. Bahkan, untuk lembaga-lembaga lain yang tidak disebut dalam criminal justice system, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga disebut penegak hukum. Hal itu sudah lama diyakini.
Dia mengatakan, tidak ada ahli yang menyangkal bahwa polisi adalah penegak hukum. Jika yang melakukan penyelidikan pada kepolisian hanya Reskrimum dan Reskrimsus, bukan berarti polisi lalu lintas dan intel bukan penegak hukum.
"Contoh konyolnya, misalnya ada razia di jalan, lalu polantas menghentikan orang karena melanggar. Orang yang dihentikan bisa melawan karena polantas bukanlah penegak hukum," kata dia saat dihubungi, Senin siang.
Selain itu, menurut Hifdzil, Budi termasuk sebagai seorang pejabat negara karena sudah eselon II. Oleh karena itu, ia menyayangkan penafsiran yang sempit dari hakim Sarpin tentang definisi aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
"Kalau seperti itu, Djoko Susilo bisa mengunggat dengan praperadilannya BG. Anda (KPK) bukan penegak hukum, jadi tidak berhak menangkap saya," katanya.
Upaya paksa?
Putusan hakim Sarpin yang juga dianggap janggal adalah penilaian bahwa penetapan tersangka Budi merupakan bagian dari upaya paksa KPK karena tidak didahului oleh serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan. Padahal, saksi fakta yang dihadirkan KPK, yakni penyelidik KPK Iguh Sipurba mengatakan bahwa KPK mengacu pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam penyelidikan perkara korupsi Budi. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan, "Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidan korupsi, dalam waktu paling lambat 7 hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada KPK".
Ada pun, pada ayat (2) disebutkan, "Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik".
Iguh mengatakan, saat proses penyelidikan, pihaknya menjadikan beberapa hal menjadi barang bukti, yakni berupa surat, keterangan saksi, dokumen dan beberapa hal yang tidak dapat dijelaskan dalam persidangan.
"Artinya, dalam hal dua alat bukti sudah ada kesesuaian satu sama lain. Meski tidak ada keterangan calon tersangka, hasil ekspose juga menunjukan sudah cukup, tidak perlu kami mengumpulkan keterangan tersangka," lanjut dia.
Hasil ekspose perkara itu pun menunjukkan bahwa Budi Gunawan layak untuk disangka dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang KPK. Lagi pula, hingga ditetapkan sebagai tersangka, pihak KPK belum melakukan penangkapan atau penahanan terhadap Budi.
Pertimbangan hakim lainnya, penetapan Budi sebagai tersangka tidak menimbulkan keresahan masyarakat. Hakim berpendapat, keresahan masyarakat muncul ketika Budi ditetapkan sebagai Kapolri, kemudian baru ditetapkan sebagai tersangka.
Hakim Sarpin juga menyatakan bahwa surat perintah penetapan Budi sebagai tersangka tidak dapat dikaitkan dengan kerugian negara Rp 1 miliar yang menjadi kewenangan KPK. Akan tetapi hanya sebatas penyalahgunaan wewenang saja.
Ada pun, gugatan praperadilan Budi yang ditolak yakni mengharuskan menyerahkan seluruh berkas tersangka, termasuk laporan hasil analisis (LHA) Budi kepada penyidik asal. Dalam hal ini adalah Polri.
Selain itu, hakim juga menolak permintaan ganti kerugian sebesar Rp 1 juta atas penetapan Budi sebagai tersangka.
Kasus Budi jalan terus
Menanggapi putusan praperadilan ini, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengisyaratkan KPK akan melanjutkan dugaan korupsi Budi. Bambang mengatakan, KPK akan mempelajari secara tekstual putusan praperadilan yang dimenangkan pihak Budi.
"Nanti kami akan diskusi dulu (kelanjutan perkara korupsi Budi Gunawan). Nanti pasti ada jalan keluarnya," ujar Bambang.
Salah satu yang dibahas dalam diskusi internal itu, lanjut Bambang, bahwa KPK tidak memiliki kewenangan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap segala kasus yang tengah diusutnya. Hal itu, kata dia, tak dapat diubah.
"Itu kan perintah undang-undang bos," lanjut dia.
Ketika ditanya apakah KPK akan melanjutkan pengusutan kasus Budi, Bambang menjawab, "Itu undang-undang bos," ujar dia.