Citizen Journalism
Tetap Semangat Meski Hanya Punya Satu Tangan
Tak setiap hari Pak Sani mendapatkan pekerjaan untuk membersihkan kebun, membersihkan saluran air atau
JAMBI - Wajahnya selalu tampak gembira, tak pernah terlihat perasaan sedih. Senyum ramah dan wajah riang selalu ia perlihatkan kepada semua orang. Tak pernah ia meminta belaskasihan kepada orang lain. Hari-harinya ia jalani dengan penuh semangat.
Tak pernah ia mengeluh apalagi berputus asa. Ia selalu menjalankan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh, meskipun banyak orang mengatakan pekerjaan itu sangat rendah.
Baginya, apapun pekerjaannya, harus selalu dijalani sebaik mungkin dengan rasa ikhlas dan sungguh-sungguh. Ya inilah sekilas sosok Pak Sani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pembersih saluran air atau got, namun ia tak pernah merasa malu dengan pekerjaannya.
Sandal jepit yang dipakainya sehari-hari, kemeja dan celana lusuh yang dikenakkannya, rumah tempat tinggalnya yang tanpa jendela dan pintu, serta isi rumahnya yang kosong tanpa perabotan-perabotan apalagi barang-barang elektronik yang tidak ia miliki semakin mengambarkan bagaimana kehidupannya yang susah dan begitu memprihatinkan.
Kini usianya sudah beranjak empat puluh tahun, namun ia tidak pernah sekalipun berniat untuk mencari seorang istri. Ia selalu dihantui rasa takut jikalau nanti ia menikah dan mempunyai seorang istri dan anak-anak Ia tidak akan mampu mencukupi keperluan rumah tangganya.
“Sendiri lebih enak, lebih bebas dan tak ada pikiran akan kebutuhan yang banyak atau hutang-piutang yang menumpuk, wong mikir diri sendiri aja sudah repot,” ungkap Sani sembari tertawa kecil.
Pak sani selama ini hanya tinggal seorang diri tanpa di temani istri ataupun saudara. Orang tuanya sudah meninggal dunia ketika beliau masih berumur tujuh tahun. Yang pertama meninggalkan pak Sani adalah ayahnya karena penyakit malaria. Begitu juga dengan ibunya yang meninggal dunia dikarenakan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya.
Masalah biayalah yang menyebabkan ibunya sekalipun tidak pernah diobati baik itu untuk sekedar diperiksa ataupun membeli obat. Hanya dengan jamu dan obat tradisioanal sajalah yang dahulunya diminum oleh ibunya.
Siang itu matahari dengan terik dan udara yang begitu panas, kami melihat Pak Sani dengan berdirinya yang pincang dan hanya bekerja dengan menggunakan satu tangan kanannya sedang membersihkan saluran air di depan rumah salah seorang warga di kampungnya.
Meskipun begitu, tidak sekalipun itu menjadi halangan buatnya, sudah ada orang yang mau mempekerjakannya ia sudah sangat bersyukur. Meskipun sebenarnya itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah untuk ukuran seseorang yang mengalami cacat seperti dia.
Kaki kiri pak Sani sudah cacat semenjak dari ia lahir, begitu juga dengan tangan kirinya. Dalam kesehariaannya, ia hanya menggunakan tangan sebelah kanannya saja untuk melakukan aktivitas dan rutinitas sehari-hari.
Tak setiap hari Pak Sani mendapatkan pekerjaan untuk membersihkan kebun, membersihkan saluran air atau hanya sekedar membantu jika ada warga yang memerlukan bantuannya. Kebanyakan orang biasanya akan lebih suka mencari orang lain yang lebih sehat kondisi fisik dan tenaganya. Hanya orang-orang yang merasa kasihanlah terkadang yang akan menggunakan jasanya. Karena dengan begitu, orangpun akan merasa sedikit membantu akan beban kebutuhan kehidupan sehari-hari Pak Sani.
Jika kondisi fisiknya sedang merasa kuat dan sehat, biasanya Pak Sani bekerja dari jam delapan pagi sampai jam lima sore dengan bayaran dibawah lima puluh ribu rupiah saja. “Ya disyukuri saja cukup gak cukup yang pentingkan halal. Bapak gak akan nyuri untuk sesuap nasi walaupun makan dengan lauk ikan teri dan tempe saja sudah amat cukup bagi bapak.” ujar pak Sani.
Delapan tahun sudah ia menjalani pekerjaan sebagai tukan kebun dan pembersih saluran air tidak sekalipun membuat Pak Sani lupa dengan Allah SWT. Panas terik dengan bau saluran air atau got yang menemani hari-harinya kini semakin hari semakin terbiasa mewarnai kehidupannya, namu ia tetap senyum tabah menerima.
Apapun pekerjaan itu adalah jalan rejeki dari yang kuasa bagi dirinya. Kini tak ada lagi guratan-guratan tua di wajahnya. Senyum telah menghapus kesedihannya.
(Penulis: Lud Ariyadi, Mahasiswa Prodi Bahasa Indonesia Universitas Jambi, Angkatan 2012)