Catatan Sepakbola
Kematian Mendieta Sebagai Tragedi Sepakbola
JAKARTA - Harimau mati meninggalkan belang, Diego Mendieta wafat meninggalkan piutang ... dan tiga orang anak yang masih kecil.
Menyedihkan! Setelah berbulan-bulan gajinya tak dibayar, Mendieta akhirnya meninggal di rumah sakit dalam keadaan terlunta-lunta.
Sebelumnya pemain berpaspor Paraguay ini juga sempat beberapa kali masuk rumah sakit, tapi dia memilih pulang karena tak ada biaya pengobatan. Jiwanya tak terselamatkan saat harus masuk rumah sakit untuk kesekian kalinya. Dia meninggal jauh dari kampung halaman. Dan sendirian.
Janji manajemen Persis Solo dan Joko Driyono selaku CEO PT Liga Indonesia untuk melunasi gaji Mendieta setelah dia wafat justru menampilkan sisi kejam sepak bola Indonesia dengan telanjang: rupanya seorang pemain harus mati lebih dulu jika ingin gajinya dilunasi. Boro-boro melunasi upah sebelum keringat pekerjanya mengering, yang ada upah baru akan dilunasi justru setelah pekerjanya tak sanggup lagi berkeringat.
Salahkah jika sepakbola Indonesia dianggap kejam?
Syahwat KPSI dan Inkompetensi PSSI
Kematian tragis Mendieta ini erat kaitannya dengan konflik elit yang menyebabkan munculnya dualisme kepemimpinan sepak bola Indonesia: PSSI dan KPSI [Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia]. Dualisme kepemimpinan inilah yang melahirkan dua kompetisi sampai dualisme klub, tak terkecuali dualisme Persis Solo yang menjadi tempat bermain Mendieta.
KPSI di bawah kepemimpinan La Nyalla jelas sekali apa tujuannya. Syahwat mereka adalah mengambil-alih PSSI, apa pun caranya, jika perlu FIFA menghukum PSSI. Kasus kematian Mendieta adalah potret paling telanjang dari syahwat kekuasaan yang menjangkiti KPSI.
Kasus kematian Mendieta ini tak bisa dipisahkan dari "penggembosan" Persis Solo hasil merger dengan Solo FC yang memutuskan untuk bermain di Divisi Utama PSSI Tanpa perhitungan yang matang, Persis Solo tandingan pun difasilitasi dan disambut dengan sangat hangat untuk bermain Divisi Utama di bawah PT Liga Indonesia [PT LI] yang bernaung di bawah KPSI. Di Persis Solo versi PT LI inilah Diego Mendieta bermain.
Tapi PSSI sendiri memang inkompeten. Kinerjanya compang-camping. Sejak awal PSSI tak jelas sikapnya: rekonsiliasi atau sikat habis kekuatan lama. Mau sikat habis kekuatan lama kok masih akomodir La Nyalla dan Toni Apriliani sebagai EXCO [juga Tri Goestoro sebagai Sekjen yang belakangan terbukti menjadi bagian keruwetan dan terpaksa diganti Halim Mahfudz], mau rekonsiliasi tapi tak maksimal mengelola isu pembekuan PT Liga yang membawahi ISL.
Ketidakmampuan menentukan posisi yang jelas dalam visi kepemimpinannya inilah yang membuat kepemimpinan Djohar sibuk "dipermainkan" oleh isu yang dengan ciamik digoreng oleh KPSI. Praktik yang "menyimpang" dari visi baru kepemimpinan PSSI itu terpampang jelas saat mereka menunjuk Ramadhan Pohan [anggota DPR dari Partai Demokrat] dan kemudian Habil Marati [anggota DPR dari PPP] sebagai manajer tim nasional.
Contoh lain inkompetensi PSSI [yang tak mungkin mengkambinghitamkan KPSI] adalah pada persiapan jelang AFF. Manajemen timnas yang berantakan, Bernhard Limbong [Ketua Badan Tim Nasional] dan Habil Marati [manajer tim nasional] saling berebut panggung. Agenda ujicoba yang berkali-kali berantakan. Belum lagi ketidakmampuan memanfaatkan jadwal FIFA untuk ujicoba. Bagaimana bisa Djohar bilang akan menggelar ujicoba internasional timnas tiap bulan? Memangnya jadwal FIFA untuk international break itu ada tiap bulan?
Ada sejumlah perkara di mana KPSI bisa dijadikan kambing hitam. Tapi banyak juga urusan di mana PSSI tak bisa mencari kambing hitam selain dirinya sendiri.
Pusat yang Ruwet dan Daerah yang Bermasalah
Dengan menjadikan tragedi Mendieta sebagai poros utama pembahasan, artikel ini ingin memberi tambahan penekanan: kebrengsekan sepakbola Indonesia tidak dimonopoli oleh para elitnya di Jakarta, tapi juga "juragan-juragan kecil" di daerah.