Pesona Eksotika Negeri Para Dewa
TRIBUNJAMBI.COM - Dalam hidup ini kita ingin sesuatu yang luar biasa, misalnya melihat matahari terbit sebanyak dua kali dalam satu hari.
Editor:
Rahimin

net
"Dalam hidup ini kita ingin sesuatu yang luar biasa, misalnya melihat matahari terbit sebanyak dua kali dalam satu hari. Penting untuk diketahui bahwa tujuan ke Dieng bisa mensucikan diri/jiwa atau hanya rekreasi saja."
KALIMAT itu dilontarkan Bogo, surveyor matahari terbit yang sering mengantarkan wisatawan. Pria paruh baya asal Wonosobo itu saya jumpai ketika menyaksikan golden sunrise (warna keemasan) untuk pertama kalinya di pegunungan Dieng pada 15 Juni lalu.
Bogo sangat ramah, meski baru bertemu di menara pandang saat melihat golden sunrise, ia berbaik hati kepada saya dan teman-teman seperjalanan (Tala, Ika, Enra, Doni, Kamil, dan Rizki) melihat matahari terbit yang kedua yakni silver sunrise (warna keperakan) dari komplek Candi Arjuna dan bercerita mengenai Dieng.
Kedua matahari terbit yang terpaut satu jam dalam satu hari itu sungguh menawan hati. Sinarnya menyilaukan mata, mengademkan hati, dan menenangkan jiwa. Benar-benar keagungan Sang Maha Kuasa, memberikan banyak keindahan di pagi hari.
Pagi itu, masih teringat dalam bayangan saya, sinar keemasan dan keperakan berpadu indah di balik bukit nan menjulang tinggi. Sekitar pukul 05.30 WIB, kami telah memasuki kawasan Dieng Segera saja kami membuka kaca jendela mobil, merasakan sejuknya hawa dingin yang masih bergelayut di pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah.
Pada pertengahan Juni tersebut, tidak ada yang berubah dari cuaca pagi Dieng. Menurut teman seperjalanan saya, Ika, dataran tinggi Dieng-lah yang membuat kulit terasa digigit semut dan badan menggigil hingga ke tulang.
Tentu cuaca seperti ini tidak begitu akrab dengan saya, namun saya sudah mengantisipasinya dengan membawa jaket tebal. Meski begitu, embusan angin dari mulut saya tetap saja menimbulkan kekaguman luar biasa akan pesona alam Indonesia di pagi hari ini, yang mana suhunya mencapai belasan derajat celcius!
Saya mengenal Dieng dua tahun lalu, dimana liputan sebuah majalah berita mingguan menampilkan warisan kekayaan alam dan budaya Indonesia, dan salah satu warisan alam dan panorama itu adalah Dieng.
Pun ketika saya berniat ke Jogjakarta dan Semarang, yang terpikir dalam benak saya adalah saya harus ke Dieng. Letaknya pasti tidak jauh dalam benak saya. Jarak tempuh kesana pun tentu akan terbayarkan dengan indahnya pemandangan alam Indonesia dari balik pegunungan.
Meski saya sudah melancong ke beberapa daerah wisata Indonesia yang lumayan dingin, misalnya Kerinci, Puncak Bogor, dan kawasan Merapi, namun yang saya rasakan di Dieng sangat berbeda. Entahlah, sepertinya saya jatuh cinta dengan negeri para dewa ini.
Eksotisme Dieng terlihat dari banyaknya candi Hindu dari abad ke-8 yang berada di pegunungan. Keberadaan situs-situs pemujaan para dewa inilah yang menjadi asal mula nama Dieng. Dalam bahasa Jawa Kuno, dhi berarti "gunung" ata "tempat", sedangkan hyang adalah sebutan untuk para dewa dewi.
Jadi Dieng adalah gunung sakral tempat tinggal dewa. "Ada tiga hal yang biasanya kita inginkan di hidup ini yakni, Candi Srikandi (untuk meminta kekayaan), Candi Puntadewa (meminta tahta/jabatan) yang sedang kita duduki, Candi Arjuna dan Candi Sembrada (permintaan jodoh bagi laki-laki dan perempuan), serta Candi Semar.
Dewa-dewa yang dipercaya berada di candi-candi inilah yang membuat Dieng dijuluki negeri para dewa," kata Bogo.
Masih menurut Bogo, sejak zaman dahulu masyarakat sering bertandang ke sini. Kenapa mereka memilih Dieng? Mencari kesempurnaan hidup-lah jawabnya. Langkah pertama yang dilakukan dalam mencari kesempurnaan hidup adalah mensucikan jasmani atau eksoteri (membersihkan diri), kemudian mensucikan rohani atau isoteri dengan membersihkan diri dari segala dosa.
Setelah itu orang tersebut menjadi orang yang suci, dan kemudian ia memohon sesuatu kepada Tuhan yang diharapkan Tuhan akan mengabulkan permintaannya karena ia telah menjadi manusia yang suci. Mereka pun meminta di kompleks Candi Arjuna ini untuk kesempurnaan hidupnya.
Tampaknya hal inilah yang menjadi alasan beberapa pria menetap di sebuah tenda di depan rumah warga. Ya, saya menyaksikan sendiri seorang pria yang menurut penduduk sekitar berasal dari Jawa Barat menetap di sebuah tenda berwarna orange di depan rumah warga, dia berada di dalam tenda tersebut bertahun-tahun lamanya dan tidak pernah keluar dari sana seumur hidupnya.
Pun rasa penasaran tidak mampu saya tahan, saya dan teman-teman ingin menyaksikan siapa pria di balik tenda orange itu. Meski penduduk sekitar takut melihat secara langsung, justru kami memberanikan diri melihat pria tersebut. Bahkan teman saya cukup cekatan memotret wajah pria berkulit putih itu. Jari tangannya tampak berwarna hitam, wajahnya berkerut, kulitnya berwarna putih, dan raut wajahnya tanpa ekspresi.
Teman saya, Enra dan Tala, mengulurkan satu kantong berisikan bakwan goreng, pisang goreng, dan tempe goreng ke beliau. Ia pun menyambut tanpa ekspresi. Well, sungguh mengerikan sih sebenernya, dan cukup saya bergidik melihat hasil foto yang diambil Enra kala itu.
Pesona Dieng belum berhenti di sini. Kawasan seluas 39,6 hektare ini memiliki keajaiban alam deretan kawah belerang vulkanik. Kami mengunjungi Kawah Sikidang diantara beberapa kawah yang terdapat di Dieng. Setelah puas mengelilingi kawasan Candi Arjuna, kami bergegas menuju Kawah Sikidang.
Dalam perjalanan menuju Kawah Sikidang ini, Candi Bima dan Candi Gatotkaca akan terlihat di sisi kiri jalan. Kedua candi ini mengantarkan kami menuju Kawah Sikidang. Sesampainya disana, kami ditawari penutup mulut alias masker, karena bau belerang lumayan menyengat dari kejauhan. Meski begitu, kami tetap menuju Kawah Sikidang dengan berjalan kaki.
Kawah Sikidang memberikan atraksi semburan uap air dan lava kelabu yang melompat-lompat seolah-olah menyambut kedatangan kami. Magnet ini membuat saya berdiri hingga tepi kawah. Semakin dekat, kami semakin kuat menutup hidung.
Tidak beberapa lama di Kawah Sikidang, kami menuju Telaga Warna. Danau yang ada Dieng ini sangat mempesona ketika pantulan sinar matahari tertuju kepadanya. Pohon cemara dan tumbuhan lain yang berada di sekitar Telaga Warna terlihat menawan dipadu dengan sinar matahari pukul 8 pagi. Telaga Warna yang mengandung beleran itu menimbulkan tiga warna: hijau, kuning, dan biru. Ternyata udara di Telaga Warna cukup membuat kami kerasan.
Selain berfoto-foto dan menikmati keindahan danau yang airnya sangat dingin ini, kami juga berkeliling memasuki beberapa goa yang ada di wilayah ini. Sayangnya kami tidak memasuki goa, karena beberapa diantaranya masih tertutup. Alhasil kami hanya mengintip dari luar goa saja.(bella moulina,
mahasiswi FKIP Bahasa Inggris, Pengajar, Pegiat Komunitas Sahabat Ilmu Jambi dan Jambi Punyo Crito)