Cemas Dikepung 20 Pompong dan Ketek
TRIBUNJAMBI.COM - Tribun berkesempatan menelusuri kawasan Sungai Lalan, Desa Bayung, Batanghari untuk melihat langsung kondisi kayu sitaan
Editor:
Rahimin

DOk/tribun jambi
Kapal pengangkut kayu
Laporan Wartawan Tribun Jambi
Pekan lalu Tribun berkesempatan menelusuri kawasan Sungai Lalan, Desa Bayung, Kabupaten Batanghari untuk melihat langsung kondisi kayu sitaan Dishut Provinsi Jambi yang jumlahnya terus menyusut karena hilang. Berikut cerita di balik perjalanan itu.
TEROR pertama yang kami hadapi tatapan tak bersahabat dari puluhan pemilik mata di sepanjang Sungai Lalan, Desa Bayung, ketika kami menghulu sungai.
Saya bersama dua rekan media lainnya, berencana menuju Sungai Jerat di kawasan hutan restorasi yang pernah dikunjungi Pangeran Charles beberapa tahun silam. Hanya selang sepuluh menit di atas speedboat, ponsel milik Pak Rustam (42), pemilik speedboat sekaligus pemandu kami, berdering. Inilah teror kedua yang kami hadapi. "Halo. Sayo lagi bawa orang, carteran..ndak, dak apo-apo, cuma nak ningok jalur batu bara," ucap Rustam menjawab panggilan dari seberang ponselnya.
Memang kami bisa leluasa menyusuri Sungai Lalan, dengan alasan mensurvei, untuk memastikan apakah jalur sungai bisa dilalui ponton pengangkut batu bara.
Meski kami bisa meyakinkan Rustam, namun tidak bagi warga di sekitar bantaran sungai. Terlebih, mereka menyaksikan kilatan kamera yang dibidikkan ke arah rakit kayu dan sawmil liar di sepanjang sungai Lalan.
Pastinya, lebih dari lima kali, warga Desa Bayung ini harus menghentikan laju speedboat, karena menerima telepon yang masuk. Semuanya menanyakan apa tujuan orang yang menumpang boat-nya menelusuri sungai.
Sekitar lima menit di perairan Sungai Lalan, kendaraan kami terpaksa berhenti, ketika beberapa pompong mendekat. Sekitar dua puluh pompong dan ketek mengepung speed boat yang kami tumpangi. Menyadari ada gelagat tak baik, saya dan rekan-rekan pun langsung menyembunyikan kamera dan kamera video. Betul saja, mereka menanyakan tujuan, dan maksud mengambil foto.
Tak pelak, saya dan dua rekan lainnya cemas, apalagi dari puluhan warga yang datang itu, di antaranya terlihat senjata tajam yang terselip di pinggang, dan membawa kecepek. Ini benar-benar teror. Saya berusaha menyembunyikan kecemasan. Dengan sedikit keberanian, tersenyum dan menyapa warga yang datang.
Bernada tinggi, dan menghardik, satu di antara warga itu langsung menuding bahwa kami adalah rombongan wartawan. "Apo maksud kalian foto-foto kayu dan sawmil ko? Kalian pasti wartawan," sergah lelaki paruh baya bertelanjang dada itu. Bahkan ada suara yang meneriakkan untuk memeriksa tas bawaan kami.
Ketegangan itu akhirnya diselesaikan oleh Rustam, sang operator speedboat. Ia meyakinkan puluhan warga setempat, yang diduga pelaku pembalakan liar. "Orang ini survei batu bara, nak nengok sungai ko, apo bisa dilalui ponton. Mereka mau ke Bayat Ulu," kata Rustam.
Perjalanan pun dilanjutkan, setelah Rustam berhasil meyakinkan warga Bayat Ilir itu. Kecemasan pun hilang seiring hilangnya perkampungan itu ketika menyusuri alur sungai yang menikung. Kami kembali mengeluarkan kamera, meski menyadari risiko serupa yang bakal dihadapi.
Di sepanjang Sungai Lalan, kami menemukan ratusan rakit kayu, Masing-masing rakit memiliki panjang tak kurang dari 50 hingga 100 meter. Badan sungai yang lebarnya antara 70 hingga 100 meter itu menyempit, karena rakit kayu itu memenuhi badan sungai di kedua sisinya.
Untuk mengetahui informasi lebih jauh, saya belum berani bertanya kepada Pak Rustam. Tunggu waktu yang tepat, batinku. 1,5 jam menghulu sungai, di hadapan kami membentang jembatan semi permanen yang berlokasi di Desa Bayat Ulu.
Ini kesempatannya untuk menggali informasi, pikirku. "Aduh...bagaimana ini. Kata bapak, di Bayat Ulu dak ado jembatan. Kalau macam ini, cak mano ponton nak lewat," tanyaku ke operator speedboat membuka pertanyaan.
Bagaikan sudah terskenario, dua rekan saya pun 'menyerang' Rustam dengan berbagai pertanyaan. Waktu di darat, warga Bayung ini meyakinkan ponton pengangkut batu bara bisa melewati sungai Lalan. "Wah, kalau seperti ini, sia-sia saja perjalanan kita ke sini. Pastinya batu bara tidak bisa lewat sini," kata seorang rekan saya.
Entah siapa yang memulai, pembicaraan selanjutnya, kami menanyai Rustam perihal rakit kayu di sepanjang sungai itu. Sedikit demi sedikit terkuaklah informasi bahwa sebagian kayu- kayu itu akan dijual kepada perusahaan besar di Jambi.
"Warga jual kayu itu ke sawmil, kemudian sawmil jual ke perusahaan (menyebutkan satu nama perusahaan-red). Nanti dipilih, kayu yang bagus dibawa ke Jakarta, kayu yang buruk untuk bubur kertas," kata Rustam.
Dari batu bara, fokus kini beralih ke kayu. Rustam menyebutkan selain kayu campuran, bisa juga didapatkan kayu berkualitas bagus, di antaranya Meranti, Punak dan Merbau. "Kayu-kayu itu diambil dari hutan di hulu sano. Sekitar tigo jam lagi lah," ucapnya.
Dari Bayat Ulu, kami berbalik menghilir sungai. Perjalanan kali ini rasa cemas berangsur hilang. Bahkan kami lebih leluasa mengambil gambar rakit kayu dan sawmil. Sedikitnya, 35 sawmil kami lihat beroperasi di sepanjang sungai Lalan.
Informasi yang diperoleh Tribun selama perjalanan, dapat dipastikan ada pembalakan kayu yang dilakoni warga setempat sudah terorganisir.
Masyarakat pembalak kayu itu mendapat dukungan dari perusahaan besar, bahkan disinyalir juga dibeking oleh oknum aparat keamanan.
Betapa tidak, kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri, enam unit tronton intercooler parkir di bawah jembatan di Desa Bayung. Terlihat beberapa orang sedang memuat kayu olahan berbentuk balok ke truk tersebut. Keterangan dari warga setempat, kayu itu akan dibawa ke Jakarta.
Jembatan itu persis di sebelah Pasar Desa Bayung, dan hanya beberapa ratus meter dari situ, ada kantor kepolisian sektor setempat. Setelah memastikan bahwa sungai Lalan adalah jalur keluarnya kayu dari kawasan hutan restorasi. Perjalanan selanjutnya, kami menuju kawasan hutan restorasi di Kabupaten Batanghari, melalui jalur Sungai Bahar, Kabupaten Muaro Jambi.(tim)