Ekspedisi Geologi Nalotantan (2-habis)

Takut Kehadiran Harimau Buas

TRIBUNJAMBI.COM - Kami mulai melakukan kegiatan survei pada Sabtu 10 Maret 2012 lalu.

Editor: Rahimin
Takut Kehadiran Harimau Buas
facebook
Chudori
Kami mulai melakukan kegiatan survei pada Sabtu 10 Maret 2012 lalu. Setelah sarapan pagi di sebuah rumah makan dan menyiapkan bekal makan di hutan, kami segera memulai perjalanan pada jam 9 pagi. Tim dibagi dua regu. Regu pertama masuk dari arah utara melalui Desa Danau dan lebih dulu meniti jembatan gantung yang sudah mulai rapuh. 

 Tim ini dipimpin Zainul serta seorang ahli geologi dan beberapa kru penunjuk jalan dari desa setempat. Sedangkan saya mengikuti regu kedua yang dipimpin Pak Cecep. Tim ini akan menyisir kawasan selatan Nalotantan yang berbatasan dengan hutan Sungaimanau. Jujur, sebenarnya saya amat takut menyertai regu kedua ini. 

 Selain medan cukup berat, di kawasan ini diperkirakan masih banyak binatang buas seperti harimau. Buktinya, dua bulan lalu, seorang penyadap karet tewas hingga kepalanya terpisah dari badan setelah dimangsa habis kawanan raja hutan Sumatera tersebut.

 Setelah satu jam perjalanan dari Desa Danau, mobil dua kabin 4 x 4 yang kami gunakan sampai ke Desa Nalobaru. Di sini kami menjemput Darwis, seorang guide yang sangat hapal dengan hutan sekitar itu. Perjalanan dengan mobil akhirnya terhenti setelah kami menemukan jembatan patah. Satu jam kami memperbaiki jembatan darurat tersebut, baru perjalanan bisa dilanjutkan.

 Hanya lebih kurang 300 meter kami meninggalkan jembatan tadi, perjalanan dengan mobil tidak bisa dilanjutkan lagi. Ada sungai kecil tapi cukup curam dan memaksa mobil harus parkir disitu. Berjalan kaki, itulah yang harus kami lakukan untuk bisa mencapai lokasi titik singkapan batu bara yang pernah ditemukan penduduk seperti Darwis. 

 Tanjakan terjal membuat nafas kami amat tersengal hingga ke puncak bukit. Awalnya kami masih menemukan kebun karet tua milik penduduk. Lama kelamaan pohon karet tidak ditemukan lagi. Kami mulai masuk kawasan hutan belukar yang lumayan lebat dan dingin. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara gemuruh burung gagak hitam dari sebuah pohon besar. Mungkin kawanan itu terkejut dengan kedatangan kami.

 Pak Cecep, geolog separuh hidupnya berada di hutan Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, terus mengamati peralatan navigasi dan mencatatnya. Setelah mengamati, mencatat dan mengambil contoh untuk dibawa, kami segera bergerak mengikuti langkah Darwis. Pria berusia 30-an tahu ini bercerita, sebenarnya yang menemukan pertama kali ada potensi batubara di hutan itu adalah Arifin yang kini sudah berusia 70 tahun. 

 Arifin orangtua Darwis, saat itu berusia sekitar 25 tahun dan gemar berburu kancil dan rusa. "Tiap kali menemukan benda aneh ini ayah selalu bercerita pada ibu hingga saya dewasa kerap diajaknya ke hutan," kisah Darwis sambil menimang-nimang bongkahan benda hitam itu di tangannya. 

 Kami berhenti sebentar melepas penat sambil makan nasi bungkus yang kami bawa dari kota Bangko tadi pagi. Perjalanan ke titik-titik singkapan berikutinya terus kami lakukan walau kaki ini amat letih. Akhirnya kami sampai ke titik singkapan terakhir setelah menyeberangi sungai kecil. Sebelumnya kami sempat menemukan sebuah perangkap menyerupai kandang terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Kuat dugaan, itu adalah perangkap harimau yang dibuat oleh pemburu liar. Kami juga menemukan jerat-jerat kecil yang dibuat dari sebatang kayu kecil dan tali nilon. "Itu jerat landak dan kancil," kata Bobo, teman Darwis.

 Tanpa terasa sudah lima kilometer lebih kami mengintari hutan Nalotantan dengan berjalan kaki. Kami berhenti sejenak melihat tiga potong batu menyerupai kayu log sebesar drum, yakni fosil kayu sungkai yang sudah menjadi batu. Kami mendapat berita dari pesan SMS, rupanya regu pertama yang masuk dari arah utara sudah lama sampai di hotel. 

 Mereka terpaksa menghentikan kegiatan surveinya karena mendapat pengusiran dari beberapa warga setempat. Ternyata, sebelum tim ekspedisi ini datang, sudah tersiar cerita bahwa masyarakat pemilik kebun akan mendapatkan biaya konpensasi jutaan rupiah bagi kebunnya yang terkena survei. 

 "Itu informasi yang keliru, dan tidak mungkin tim geologi memiliki sumber dana untuk hal seperti itu. Kami ini tim peneliti, bukan pengusaha tambang," ungkap Pak Cecep. Untung kesalahpahaman bisa diselesaikan kepala desa setempat. Kami berdiskusi, dan katanya Merangin potensi kandungan batu bara amat sedikit. Ketebalan 2-3 meter dan luas formasi hanya beberapa ratus meter saja. Tentu itu kurang ekonomis. 

Sumber: Tribun Jambi
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved