Merebut Hati dengan Petisi
Kawasan Percandian Muarajambi ditetapkan sebagai kawasan Wisata Sejarah Terpadu, oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Editor:
Deddy Rachmawan

kurnia prastowo adi/tribun jambi
SBY saat berada di Candi Muaro Jambi
Jumardi Putra*
PASCAPENCANANGAN Kawasan Percandian Muarajambi sebagai kawasan Wisata Sejarah Terpadu, akhir September 2011oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, tinggalan abad ke‑7 sampai abad ke‑14 yang merekam jejak peradaban Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya, menjadi kian populer di kalangan masyarakat, baik dalam maupun di luar Jambi.
Tak ayal, Duta Besar India, Biren Nanda lansung berkunjung ke Jambi setelah mengetahui ada Percandian penting di Jambi (18/02).
Hal yang sama diungkapkan antropolog Jonathan Zilberg (University of Illionis at Urbana‑Campaign,USA), dan Fiona Kerlogue, pemerhati Batik Jambi dari Inggris (1/12/11), yang takjub melihat kebesaran masa lalu Jambi dengan luas kawasan 2.612 hektare atau 31 kali lebih luas dari pada candi Borobudur di Jawa Tengah.
Bahkan menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, jumlah pengunjung di kawasan percandian yang berlokasi di Desa Muarajambi, 40 kilometer dari ibu kota Provinsi Jambi mengalami peningkatan berarti.
Tapi Kawasan Percandian Muarajambi yang masuk "daftar tunggu" UNESCO sebagai salah satu Warisan Dunia (world heritage) terancam dicoret dari tentative list badan PBB itu, pasalnya, di kawasan ini berdiri sejumlah industri yang dapat menggangu kelestariannya. Setidaknya terdapat 6 terminal‑timbun batubara (stockpile), 1 pabrik crude palm oil (CPO), dan 1 perkebunan kelapa sawit.
Arkeolog Jambi, Agus Widiatmoko mengamini hal itu (1/12/11). Menurutnya, kerusakan Percandian Muarajambi disebabkan aktivitas penimbunan batu bara dan industri pengolahan sawit di sekitar situs.
Ia menambahkan, kandungan logam batu bara terurai dengan adanya air hujan, akan menghasilkan kadar asam yang tinggi sehingga kerusakan cepat terjadi. Kemudian, debu batu bara yang menyusup ke pori‑pori candi akan memperlemah daya ikat batu bata kuno tersebut. Pendek kata, pengeroposan bangunan candi dan menapo akan terus berlangsung selama industri masih beroperasi di zona situs.
Menurut saya, Undang‑Undang No 11/2010 tentang Cagar Budaya, pengganti dari UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya membawa angin segar bagi penyelesaian masalah di atas, setidaknya UU tersebut mengandung tiga paradigma baru.
Pertama, pemerintahan yang bersifat sentralistik berubah menjadi desentralistik (UU.No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah). Kedua, perubahan cara pandang pelestarian object‑oriented menjadi site‑oriented yang mengarah pada Kawasan. Ketiga pelestarian Cagar Budaya yang semula hanya ditujukan pada objek materinya saja, kini mengarah pada pelestarian objek materi dan nilai untuk pembentukan identitas (jatidiri bangsa) dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, UU tersebut, salah satunya memberi wewenang penetapan kawasan cagar budaya dimulai dari pemerintah Kabupaten.
Meski diakui PP dari UU tersebut belum selesai, tetapi ada banyak celah UU yang bisa mencegah kawasan ini dari aksi pengrusakan, seperti Penetapan Kawasan Stratejik Nasional berdasarkan Undang‑Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Kendati telah dicanangkan sebagai kawasan Wisata Sejarah Terpadu, kawasan percandian tak banyak berubah, justru protes masyarakat, agar percandian dibebaskan dari industri terus mengalir deras.
Dalam misi yang sama, Svarnadvipa Institute, lembaga yang konsern pada Pelestarian Kawasan Percandian Muarajambi, bersama pecinta budaya Jambi lainnya, seperti Dewan Kesenian Jambi (DK‑Jambi), Sekolah Alam Raya Muarajambi (Saramuja), Komunitas Seni Inner Jambi, Jambi Corps Grinder, Dwarapalamuja, Jambi Guitar Community, dan beberapa akademisi Jambi, Minggu pagi (26/2), menggelar aksi solidaritas dengan membuat Petisi Jalanan, bertuliskan Selamatkan Kawasan Percandian Muarajambi.
Hemat saya, lahirnya bermacam bentuk aksi damai (termasuk petisi), yang terus mendapatkan simpati masyarakat luas adalah kabar baik.
Dampak riilnya adalah, masyarakat Jambi (Indonesia) menjadi tahu bahwa kawasan Percandian Muarajambi merupakan tinggalan budaya penting bagi kehidupan Jambi, kini dan selanjutnya.
Apalagi disebut oleh peneliti purbakala F.M. Schnitger, yang menulis buku Forgotten Kingdoms in Sumatra (Leiden:1964), kemudian diteruskan pendataan oleh Dinas Purbakala (1954), serta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sejak tahun 1978, bahwa temuan arkeologis berupa Benda‑benda sejarah yang ditemukan di lokasi itu menunjukkan hubungan yang erat antara Muarojambi dan orang‑orang India, Persia, Cina, Burma, Kamboja, Vietnam, Siam, dan Arab. (Bambang Budi Utomo, Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari, 2011).
Luluhlantaknya kawasan ini akan membunuh memori dunia atas peran strategis Jambi dalam peta sejarah peradaban manusia.(baca: Kumpulan Makalah Seminar Internasional Sejarah Melayu Kuno, Jambi:1992). Namun sangat disayangkan, upaya di atas tidak dilanjuti untuk menulis sejarah Jambi secara utuh, kecuali diskusi‑diskusi kecil yang terkadang berujung pada kejumudan menulikan.
Tentu, kehadiran media ini diharapkan mampu memecah kebuntuan akan identitas sejarah Jambi. Bukankah ini sebuah aksi dalam bentuk lain, selain membubuhkan tanda tangan di petisi atau pun riuh rendah gerakan massa di jalanan.
Dengan demikian, segala bentuk upaya penyelamatan Kawasan Percandian Muarajambi (termasuk aksi petisi) adalah usaha merebut hati masyarakat luas dengan harapan mampu menjelma bak kunang‑kunang, yang dapat memberi cahaya penerang di tiap lubang hitam kebudayaan Jambi saat ini.
Sekali lagi, kepada Pak Beye (Presiden RI), HBA (Gubernur Jambi), dan Burhanuddin Mahir (Bupati Muarajambi), letupan kerinduan masyarakat pada kawasan Cagar Budaya Jambi adalah sesuatu yang sangat beralasan. (*)
*Pecinta kawasan Percandian Muarajambi.