Jadi Rujukan Sat-81 Kopassus, Inilah Kehebatan Pasukan GSG-9 Tempat Berguru Luhut dan Prabowo
Kedua perwira tersebut dikirim untuk mengambil spesialisasi penanggulangan teror ke GSG-9 (Grenzschutzgruppe-9) Jerman
TRIBUNJAMBI.COM - Bicara pasukan anti teror satu diantara yang handal adalah GSG-9. Pasukan yang jadi inspirasi terbentuknya Sat-81 Kopassus yang merupakan pasukan anti teror
Mereka merupakan pasukan elit legendaris Jerman.
Pasukan elit inilah yang disebut-sebut dikerahkan pemerintah Jerman untuk mengejar para tersangka teroris.
GSG-9 sendiri kependekan dari Grenzschutzgruppe 9, Penjaga Perbatasan, Grup 9 adalah unit taktis operasi khusus anti-terorisme elit dari kepolisian Federal Jerman.
Unit ini dianggap sebagai salah satu unit khusus terbaik di dunia.
Banyak unit-unit anti-terorisme negara-negara lain dibentuk menurut model GSG-9 ini.
Unit Sat-81 Kopassus dibentuk berdasarkan bimbingan dari GSG-9.
Diawali keinginan untuk mengantisipasi maraknya tindakan pembajakan pesawat terbang era tahun 1970/80-an, Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI menetapkan lahirnya sebuah kesatuan baru setingkat detasemen di lingkungan Kopasandha.
Pada 30 Juni 1982, muncullah Detasemen 81 (Den-81) Kopassandha dengan komandan pertama Mayor Inf. Luhut Binsar Panjaitan dengan wakil Kapten Inf. Prabowo Subianto.
Baca: Wanita Tangguh, Gambaran Istri Prajurit Kopassus, Tahu-tahu Suami di Kapal Laut
Kedua perwira tersebut dikirim untuk mengambil spesialisasi penanggulangan teror ke GSG-9 (Grenzschutzgruppe-9) Jerman dan sekembalinya ke Tanah Air dipercaya untuk menyeleksi dan melatih para prajurit Kopassus yang ditunjuk ke Den-81.
Grenzschutzgruppe 9 der Bundespolizei atau pasukan penjaga perbatasan 9, dibentuk pertama kali pasca- tragedi penyanderaan dan pembunuhan 11 atlet Israel pada Olimpiade 1972 di Munich yang kemudian disebut peristiwa Black September.
Saat itu, kepolisian Jerman (Barat) yang tidak terlatih dan memiliki perlengkapan untuk menghadapi masalah semacam ini, meremehkan kemampuan para penyandera dan secara serampangan mencoba menyelamatkan para sandera.
Saat itu kepolisian Jerman tidak memiliki penembak jitu yang bisa ditugaskan.
Militer memiliki penembak jitu tetapi undang-undang Jerman melarang penggunaan personel militer di dalam negeri.
Alhasil, operasi penyelematan gagal yang berujung pada tewasnya ke-11 atlet Israel itu, lima penyandera dan satu orang polisi.