Kisah Perjalanan Haji Tahun 1800-an, 6 Bulan Dibawah Ancaman Kelaparan, Badai dan Wabah Penyakit

Pada masa itu, berhaji merupakan perjalanan ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mapan secara ekonomi.

Editor: Suci Rahayu PK
Ilustrasi perjalanan haji 

TRIBUNJAMBI.COM - Perjalanan haji pada masa lalu menyimpan banyak cerita.

Pada masa itu, berhaji merupakan perjalanan ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mapan secara ekonomi.

Perjalanan yang dilalui dari Indonesia menuju Tanah Suci juga tak mudah.

Baca: Apa yang Terjadi Jika Kiamat Terjadi? Ini Kata Para Ahli

Jalur laut menjadi pilihan utama, karena perjalanan haji via udara baru berlaku tahun 1952, dengan tarif yang dua kali lebih mahal daripada dengan menggunakan kapal laut.

Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya, pada 1800-an? Kala itu, sistem perjalanan haji diatur oleh pemerintah Kolonial.

Haji pada Masa Kolonial

Pada abad 18, sistem ibadah haji dikuasai dan dikelola oleh pihak kolonial.

Baca: Di Acara Hitam Putih, Najwa Shihab Ungkap Pihak yang Membocorkan Sidak di Lapas Sukamiskin

Pemerintahan kolonial melakukan pendataan terhadap seseorang yang akan melaksanakan ibadah haji.

Selain itu, mereka melakukan kontrol terhadap sistem perhajian pada masa itu.

Dikutip dari buku " Naik Haji di Masa Silam Tahun 1482-1890" yang ditulis oleh Henri Chambert-Loir, Gubernur Jenderal Daendles menetapkan bahwa demi keamanan dan ketertiban, para jemaah haji harus mengantongi dokumen perjalanan selama bepergian ke Tanah Suci.

Pada 1825, calon haji harus membeli sebuah paspor dengan harga 110 gulden di Kantor Bupati. Angka ini termasuk mahal pada masa itu.

Sementara, secara tak resmi, Bupati ditugaskan untuk memperlambat arus haji.

Pada 1859, kebijakan kolonial berubah lagi. Jemaah calon haji yang akan bertolak ke Tanah Suci harus melapor kepada bupati terkait dan menunjukkan uang yang cukup untuk membiayai perjalanan dan kehidupan keluarganya di rumah.

Hal itu menjadi syarat untuk mendapatkan paspor.

Syarat kedua, setelah jemaah haji kembali, ia harus menghadap Bupati lagi untuk menunjukkan bahwa dirinya telah ke Mekkah.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved