Kisah Penjaga Gunung Merapi yang Tidak Boleh Melarikan Diri Walau Meletus dan Semburkan Awan Panas
Saechani. Pada masanya, pegawai Jawatan Geologi urusan Volkanologi ini, punya peran penting dalam penjagaan gunung berapi.
TRIBUNJAMBI.COM - Saechani. Pada masanya, pegawai Jawatan Geologi urusan Volkanologi ini, punya peran penting dalam penjagaan gunung berapi.
Tahun 1961, saat Merapi meletus, ia pernah disangka sudah mati.
Kala itu, Saechani bertugas di Pos Plawangan. Suasana mengkhawatirkan.
Siang gelap bagaikan malam hari. Hujan abu tebal dan batu-batu kecil bertebaran.
Baca: Afganistan Sempat Harapkan Pancasila Sebagai Obat yang Mampu Atasi Perang Saudara di Negaranya
"Para penjaga Gunung Merapi disangka sudah menjadi mayat semuanya," kisah Saechani, saat itu.
Seorang penjaga gunung berapi tak boleh lari menyelamatkan diri.
Baca: TEREKAM KAMERA - Geram pada Majikan, Pekerja Masukkan Ini ke Dalam Minumannya. Akhirnya. . .

Penjaga gunung berapi bertugas mengamati perkembangan gunung, catatan suhu, dan pemetaan kawah. Pada 1972, Saechani bertugas di Pos Babadan yang lokasinya termasuk dekat dari Puncak Merapi.
Baca: Triknya Sangat Curang, Siapa Sangka Penghasilan Tukang Sampah ini Lebihi Pasukan Militer!
Di tahun itu, diperkirakan siklus Merapi mengeluarkan letusan tipe besar.
Dari penelusuran, pada tahun 1972-1973, Merapi meletus dengan tipe volkanian.
Materi yang dilontarkan membentuk awan bergumpal-gumpal seperti bunga coal yang tegak menjulang secara vertikal, serta menghasilkan semburan asap hitam setinggi 3 kilometer.
Terjadi hujan pasir dan kerikil, juga awan pijar guguran ke Kali Batang.
Baca: Bila Kamu Miliki Lesung di Bawah Punggungmu, Kamu Termasuk Orang yang Spesial!
"Uang bahaya" Rp 10
Pada masa itu, penjaga gunung berapi mendapatkan Rp10 per hari jika status gunung yang dijaganya dalam keadaan bahaya.
Uang ini dikenal dengan istilah "uang bahaya".
Selain gaji, para penjaga gunung kala itu mendapatkan uang makan yang besarnya sesuai jabatannya.