Editorial

Jahit Mulut

SETIDAKNYA telah dua kali unjuk rasa dengan jahit mulut terjadi di Jambi.

Editor: Deddy Rachmawan

SETIDAKNYA telah dua kali unjuk rasa dengan jahit mulut terjadi di Jambi. Pertama, pekan terakhir bulan Maret saat empat petani yang tergabung dalam massa Serikat Tani Nasional (STN) dan Suku Anak Dalam (SAD) berdemo menyoal enclave lahan mereka di kantor Gubernur Jambi.
Berjarak enam bulan kemudian, dua aktivis yang menamakan diri Gerakan Anti Korupsi (GANK) juga menjahit mulutnya sebagai protes lambatnya proses pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan Damkar dan temuan PPATK Jambi lima besar provinsi terkorup se-Indonesia seperti diberitakan Tribun Jambi (2/10).
Kita turut prihatin dengan kondisi itu dan berharap pihak yang berkepentingan segera merespon pada kesempatan pertama, sebelum berkembang menjadi memburuk. Tidak perlu menunggu kondisinya seperti pengalaman di daerah lain, pendemo pingsan dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi kritis, nyaris mengancam keselamatan.
Kita juga berharap aksi seperti itu tidak perlu ditanggapi dengan keras. Tuntutan dan keinginan mereka sebenarnya jelas. Jahit mulut hanya simbolisasi atas sikap tidak peduli, bahkan abai terhadap penderitaaan dan persoalan mereka. Mereka memilih jahit mulut sebagai pilihan akhir setelah kata-kata seperti membentur kaca. Terlihat yang dituju, tapi tidak terdengar akibat dinding pembatas.
Aksi jahit mulut sejak beberapa tahun terakhir agaknya menjadi pilihan pendemo setelah dialog selalu berakhir dengan kekuatan argumentasi basa-basi. Karenanya dia melawan sekaligus membuktikan, termasuk kepada diri pendemo sendiri, bahwa bukan hanya pikiran dan akal mereka, jasad mereka secara fisik juga ikut berdemo, dan ikut menunjukkan beban derita persoalan yang dialami.
Aksi jahit mulut sebagian besar juga dilakukan para pendemo berkenaan dengan sengketa lahan. Khusus di Jambi, aksi terakhir memang menyasar penuntasan kasus dugaan korupsi. Jahit mulut hanya simbolisasi, bahasa menurut filsuf Prancis Ferdinand Saussure  pesan yang ingin disampaikan menjadi penanda.
Sejarah demo negeri ini juga mencatat sejumlah aksi lainnya, seperti aksi cap jempol berdarah, lalu membawa kerbau di tengah-tengah demo, dan sebagainya. Kadang, meski tanpa orasi, bahasa simbol seperti itu mengena, dan membuat sasaran demo akhirnya buka suara, atau paling halus, terbuka bergerak merespon.
Karena hanya mereka yang cerdas yang bisa memahami bahasa-bahasa simbol seperti itu. Meski tidak mudah menyelesaikan persoalan korupsi, demo korupsi tetap harus direspon sebagai bagian aspirasi publik memberikan tekanan terhadap sumbatan yang terjadi, kalau memang itu ada. Pasalnya, sumbatan yang terakumulasi pada akhirnya akan membatu dan berujung membendung upaya pengusutan isu-isu yang menjadi atensi publik.
Merespon demo, seironis apapun, hemat kami tidak akan memposisikan pihak nyang didemo menjadi kalah, atau dikalahkan. Sebaliknya, mendiamkan demo yang paling tidak bersuara, sejatinya justru menggambarkan kekalahan itu. Setidaknya kekalahan akal sehat. Itukah yang hendak terjadi? Semoga tidak! (*)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved